Iis Soekandar: Persahabatan Wijay, Raka, dan Andi

Jumat, 01 Maret 2019

Persahabatan Wijay, Raka, dan Andi

                                                                                     

Bel pulang baru saja berbunyi. Setelah berdoa, anak-anak berhamburan keluar dari kelas. Mereka ingin segera pulang.
            “Wijay, kamu mau ke mana? Ayo, kita pulang!” ajak Raka sudah berada di atas sepeda. Begitupun Andi. Wijay menuju ke belakang. Mungkin dia akan ke kamar mandi.
            “Kalian pulang sendiri saja. Aku akan mengerjakan tugas di sini. Kalian tahu sendiri di rumah adikku banyak. Aku sering terganggu.”
            “Kita bisa belajar bersama. Seperti biasa di rumahku atau rumah Raka,” saran Andi. Wijay tidak mengindahkan. Dia terus berjalan menuju ke belakang.
            Tidak  lama Raka dan Andi pulang dengan mengendarai sepeda.
Walaupun tidak satu kelas, Raka, Andi, dan Wijay selalu berangkat dan pulang bersama.
            “Kenapa sih akhir-akhir ini Wijay tidak mau bersama-sama dengan kita lagi?” tanya Raka.
            “Aku juga tidak tahu. Tempo hari saat ibuku pergi ke pasar melihatnya. Dia berangkat pukul setengah enam pagi,” cerita Andi.
            “Ngapain dia berangkat sepagi itu?” tanya Raka terheran.
            Mereka membericarakan Wijay dengan menyayuh sepeda secara perlahan. Maklumlah, sudah siang, perut keroncongan. Mereka ingin segera sampai di rumah. Tidak terasamereka sampai di pengkolan, saatnya berpisah menuju rumah masing-masing.
@@@
           
            Pagi hari mereka sengaja berangkat awal. Mereka mencegat di depan gang, tetapi dengan sembunyi. Mereka ingin membuktikan apakah benar Wijay berangkat pagi sekali. Karena biasanya dia harus mengasuh adiknya yang balita pagi hari. Sehingga Wijay sering tiba di kelas menjelang bel masuk berbunyi.  
            “Nah itu Wijay!” tukas Raka saat melihat Wijay keluar dari gang.
            “Wijay... mengapa kamu berangkat sepagi ini?” tanya Andi.
            Wijay terpaksa berhenti. Keduanya kaget begitu melihat tas yang berada di stang sepeda. Biasanya Wijay membawatas punggung.
            “Aku malu. Aku terpaksa memakai tas kantung plastik. Itu sebabnya aku berangkat pagi sekali dan pulang paling akhir. Aku tidak  mau menjadi ejekan teman-teman.”
            Raka dan Andi manggut-manggut.
            “Kalian beruntung. Kedua orangtua kalian bekerja. Sedangkan ibuku mengasuh ketiga adikku. Sehingga tidak dapat membantu ayahku yang tukang becak,” ungkap Wijay sedih. 
Tidak hanya Wijay, Raka dan Andi sebetulnya juga sedih. Beberapa kali tas Wijay lepas jahitannya. Ibunya menjahit. Tetapi kali ini tidak dapat dipakai lagi. Keduanya mengetahui keluarga Wijay tidak mampu. Kemudian Raka, Wijay, dan Andi mengayuh sepeda bersama menuju ke sekolah.
            Pada saat istirahat Raka dan Andi sengaja menemui Wijay. Wijay diajak ke taman. Keduanya membicarakan rencana ingin menolong Wijay agar dapat membeli tas. Mulanya Wijay menolak. Tapi akhirnya dia menerima saran kedua sahabatnya. Yang terpenting dia dapat memiliki tas baru.


            Lawang Sewu salah satu tempat wisata di Kota Semarang. Tempat itu selalu ramai dikunjungi turis, baik lokal maupun mancanegera. Selain suvenir, dijual pula makanan khas.
            “Beli lumpia, Mbak. Ini makanan khas Semarang. Satu buah cuma tujuh ribu lima ratus rupiah. Mbak bisa pilih, yang goreng atau basah,” tawar Andi kepada dua orang gadis yang duduk di pinggir lokasi wisata. Mereka sedang beristirahat setelah berjalan-jalan.
            “Beli dua.” Masing-masing mengambil satu buah dengan tambahan cabe rawit.
            “O, iya, kalau Mbak butuh minuman, saya bisa usahakan es teh,” tambah Andi.
            “Wah, terima kasih, Dik, saya pesan es teh dua,” jawab salah satu gadis itu dengan senang. Kemudian Andi menghampiri Wijay.
Wijay tampak membagi uang dengan Raka. Kemudian mereka menuju ke tempat kedua gadis tadi.
“Ini, Mbak, teman saya yang jualan minuman.” Kedua gadis itu pun mengambil dua cup berisi es teh dalam nampan.
            “Selain lumpia, Semarang juga terkenal dengan wingko babat. Ada rasa stroberi, cokelat, durian, dan original,” tawar Raka.
            “Rasa stoberi?” Karena penasaran mereka pun membeli. Mereka membayar semua makanan dan minuman yang dibeli secara bersamaan.
            Begitulah kegiatan Andi, Wijay, dan Raka pada hari Minggu. Mereka saling membantu.
            Sore tiba. Wijay menghitung uangnya yang harus disetor ke Bu Mimin. Beliau penjual nasi rames. Tapi juga menjual minuman es teh dalam cup. Setiap cup Wijay mendapatkan keuntungan lima ratus rupiah. Sedangkan Andi membantu ibunya berjualan lumpia. Sementara Raka membantu ibunya berjualan wingko babat. Mereka menyetor setiap kali laku.
            “Terima kasih, kalian sahabat yang baik. Hari ini aku dapat laba dua puluh empat ribu. Aku yakin, selama beberapa minggu ke depan, uangku terkumpul banyak sehingga bisa membeli tas baru.”
            “Sahabat itu tidak hanya bersama saat senang, tapi dalam susah pun harus ikut merasakan dan membantu,” ungkap Andi. Raka mengiyakan.
            Ketiganya pulang ke rumah dengan hati gembira.
@@@
Cernak ini pernah dimuat di harian Lampung Post, Minggu 24 Februari 2019


Tidak ada komentar:

Posting Komentar