Bulan
Penuh Kejutan
Judul
buku : Bulan Nararya
Penulis : Sinta Yudisia
Penyunting
bahasa : Mastris Radyamas
Penerbit : Indiva Media Kreasi
Ketebalan : 256 halaman
Ukuran : 19 cm
ISBN : 978-602-1614-33-4
Cetakan
I : September, 2014
Harga : Rp 46.000,00
Novel ini
bercerita tentang seorang terapis bernama Rara. Dia bekerja di sebuah klinik
kesehatan. Tepatnya klinik kesehatan khusus penderita gangguan jiwa yang dalam
bahasa ilmiahnya, skizophrenia. Berbeda
dengan pengobatan pada umumnya termasuk di mental
health center milik Bu Sausan sekaligus atasan tempatnya mengabdi, yaitu farmakologi, Rara menawarkan metode transpersonal yang lebih humanis. Transpersonal mengaitkan orang-orang
terdekat, agama, serta budaya setempat untuk penyembuhan pasien. Dibanding farmakologi yang membuat pasien
cenderung kecanduan obat. Karena memakan waktu antara sepuluh hingga lima belas
tahun, tentu ditolak tegas atasannya. Begitupun rekan kerja sekaligus
sahabatnya, Moza.
Namun Rara
tidak patah semangat. Ia tetap mengabdikan tenaga dan pikirannya pada klinik seorang
wanita yang pernah menjadi dosennya itu. Sengaja atau tidak, sebetulnya dia
telah melibatkan orang-orang terdekat atau anggota keluarga untuk pemulihan
jiwa pasien. Terlihat ketika menangani Yudhistira. Lelaki muda itu hampir
bercerai dengan istrinya, Diana, karena keluarga besarnya, mama dan
saudara-saudara kandung, ikut campur urusan rumah tangganya. Mereka menuduh
Diana terlalu menguasai lelaki hingga menolak semua bantuannya. Sementara Diana
mengatakan merekalah yang terlalu ikut campur urusan keluarganya. Dalam kondisi
seperti itulah pikiran Yudhistira
limbung. Dia tidak tahu harus berbuat apa selain diam dan terus diam yang
akhirnya menjadi berkepanjangan dan tidak terkontrol di luar batas manusia
normal. Satu sisi dia menyayangi keluarganya, sisi lain dia mencintai Diana,
istrinya.
Pasien lain
yang ditangani Rara adalah Sania. Dialah orang pertama yang ditemui di klinik. Gadis
kecil yang pernah mengenyam pendidikan hingga kelas 2 SD itu ditemukan pertama
kali oleh dinas sosial di terminal dalam keadaan tubuh terluka. Karena tanpa
keluarga yang menginformasi dia berpindah dari satu tempat ke tempat lain
hingga sampai di klinik Bu Sausan. Sania tumbuh di tengah keluarga broken dan
kerasnya hidup. Jauh dari rasa bahagia layaknya dialami anak-anak seusianya.
Nenek suka menghadiahi sabetan rotan, ibu pemarah, gonta ganti pasangan, dan
ayah seorang pemabuk. Tidak heran bila yang ada dalam benaknya kemudian kata
marah dan benci. Ayahnya yang pernah mengajaknya keluar dari klinik ditentang
keras. Dia bahkan nyaris bunuh diri dengan meminum obat pencuci pakaian. Beruntung
maut urung menjemputnya setelah sempat dirawat di rumah sakit.
Pak Tua atau Pak Bulan adalah pasien
berikutnya. Dengan wajah tirus dan badan terlalu kurus dialah penghuni lembaga
pemasyarakatan. Tidak banyak yang tahu kisah hidupnya. Karena kekurangn gizi,
kasih sayang, dan perhatian, membuat terbelakang
mentalnya. Seringnya berada di malam hari dengan menatap bulan itulah, Rara
memanggilnya Pak Bulan. Dia selalu mengatakan purnama walau bulan berbentuk
sabit.
Kedekatan
Rara dengan pasien-pasiennya tak urung menjadikan mereka dekat pula satu sama
lain. Hingga suatu saat terjadi cinta segitiga antara, Yudhistira - Diana,
istri Yudhistira, - Sania. Pak bulan ikut menyumbangkan serpihan bunga mawar, hasil
kesukaannya berkebun. Ketegangan pun tercipta dan menyangka Rara berhalusinasi saat
ditemukan serpihan kelopak bunga mawar bercampur darah di depan kantornya pada malam hari. Intinya, mereka tidak mau kehilangan orang-orang terkasih, termasuk
kehilangan Rara yang sudah menjadi bagian dari mereka. Hal itulah yang membuat
Rara tidak jadi mengundurkan diri walau awalnya Bu Sausan pernah
menolak. Karena pada akhirnya beliau mengijinkan metode transpersonal kelak menjadi bagian dari pengelolaan klinik, bagian
baru yang ditawarkan Rara.
Membaca judulnya yang muncul adalah
keterkaitan sebuah benda langit yang hadir pada malam hari. Namun bagaimana
keterkaitan “bulan” karena ternyata Nararya adalah nama panjang Rara yang dalam
novel ini menjadi tokoh sentral. Sebagaimana judul novel ini, Bulan Nararya. Biasanya nama panjang sekalian ditampilkan.
Namun penulis berhasil membuat penasaran, bahkan sepanjang novel ini selesai.
Sambil mengikuti cerita demi cerita pembaca mungkin mengira nama Bulan berkait
dengan salah satu penghuni klinik dengan panggilan Pak
Bulan. Setelah melalui serangkaian penantian panjang, kepenasaran tentang Bulan
terjawab di akhir cerita. Tidak berhubungan dengan Pak Bulan, tapi dari pasien
lain, Yudhistira. Dari kesukaannya
melukis, ia menghadiahi Rara sebuah lukisan bulan dengan di tengahnya tergambar
wajahnya, maka menjadilah Bulan Nararya.
Yang paling
menegangkan ketika nyawa Rara nyaris terancam. Dalam budaya masyarakat bunga mawar
dan darah identik dengan perlambang kematian. Darah berhubungan dengan
pembunuhan, sedangkan kelopak-kelopak bunga mawar sebagai taburan setelah
kematian. Suatu malam seorang diri Rara akan pulang, tiba-tiba di depan pintu
ruangannya ditemukan serpihan kelopak-kelopak bunga mawar bercampur darah.
Cerita pun dibangun penuh ketegangan. Rara mengalami kejadian serupa dua kali
terjawab oleh peristiwa sederhana namun berhasil menyita perhatian. Sania,
pasiennya yang baru menginjak remaja, mengalami menstruasi pertama dan belum
bisa memakai pembalut, sisi lain dia suka bunga mawar. Dia tidak mau ditinggal
Rara, orang terdekat sepanjang dia berada di klinik. Karena tidak bisa
mengungkapkan, ia lampiaskan dengan berada di depan kantor Rara dalam keadaan
apa adanya. Kejutan ini tidak diungkapkan secara eksplisit, namun melihat bukti-bukti
kebiasaan Sania cukup sebagai jawaban.
Kejutan lain
ketika hubungan Angga, mantan suaminya, retak dengan istrinya. Sementara
istrinya yang tidak lain mantan rekan kerjanya, Moza, sedang hamil. Keadaan
yang tidak pernah dialami selama sepuluh tahun hidup berumah tangga bersama Angga.
Angga kemudian memberikan perhatian tak ubahnya ketika mereka hidup bersama
dulu. Bahkan nyata-nyata mengatakan kalau Rara lebih tahu banyak tentang dirinya
dibanding Moza meski telah menjadi istrinya.
Keretakan
itu membuat mereka juga ingin berkonsultasi. Diluar dari hubungannya bermasalah,
Rara sempat berpikir kalau Angga akan kembali kepadanya. Bahkan anak yang ada
dalam kandungan Moza suatu saat akan diasuhnya. Moza masih muda dan tentu masih
banyak pula lelaki yang menginginkannya. Siapa tahu ia tidak mau dibebani anak
dan menyerahkan hak asuh bayinya kelak dipangkuan Angga. Bukankah kalau mereka
kembali berdua Rara juga ikut mengasuh dan merasakan punya anak ? Sayang
pembaca hanya diberi kesempatan berandai-andai. Karena novel ini selesai
sebelum cerita dibahas lebih lanjut.
Terlepas
dari kejutan demi kejutan ditampilkan, terasa ada yang monoton. Dari lembar ke
lembar halaman cerita yang ditampilkan selalu berkutat dengan masalah. Tidak ada
cerita bahagia dibalik masalah-masalah. Misal cerita bulan madu ketika Angga
dan Moza baru saja menjadi suami istri. Termasuk Bu Sausan atasannya juga ikut
menyumbangkan kepedihan tak kalah rumit pada cerita masa lalunya. Menangani klinik terapi yang berhubungan
dengan gangguan jiwa tidaklah harus semua orang yang terlibat di dalamnya juga
pernah terkena masalah berat. Kendati setiap orang pasti pernah mengalami masalah.
Lebih bervariatif jika `orang dalam` berlatar belakang keluarga bahagia. Mereka
ingin berbagi kebahagiaan karena ternyata tidak setiap orang beruntung seperti
mereka.
Diantara
kelebihan dan kekurangan, hikmah yang paling penting bahwa permasalah apapun membutuhkan
dukungan orang-orang terdekat atau keluarga, seberapapun orang bisa membayar mahal
seorang profesional handal di bidangnya. Disamping itu, hidup adalah kenyataan.
Maka menghadapinya jalan terbaik, bukan menghindarinya.
Disamping
novel yang memberikan hiburan dan isi yang sarat dengan makna kehidupan
sehari-hari, pembaca pun disuguhi pemakaian bahasa tingkat tinggi namun tetap
mudah dipahami. Penggunaan gaya bahasa dan diksi atau pilihan kata yag tepat
membuat cerita ini memiliki nilai sastra. Sebuah karya seni yang tidak saja punya
manfaat hidup tetapi juga literer dan patut dikoleksi. Maka pantaslah kalau
novel ini memenangkan salah satu penghargaan dalam penulisan novel bertaraf
nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar