Salah
satu tugas guru selain kegiatan utama, mengajar, di antaranya menjadi wali
kelas. Tetapi tidak setiap guru berkesempatan menjadi wali kelas. Tergantung
situasi dan kondisi, kemampuan guru, jumlah guru, dan hal-hal lain. Karena
setiap sekolah mempunyai kondisi yang berbeda.
Menjadi
wali kelas berarti menjadi orangtua sebagaimana siswa di rumah. Jadi bisa
dibayangkan menjadi orangtua bagi peserta didik sebanyak satu kelas. Jumlahnya puluhan.
Sementara mendidik anak kandung hanya satu-dua orang.
Jika menemui orangtua yang kooperatif,
kerja sama antara kedua belah pihak, guru dengan orangtua, menjadi mudah. Permasalahan
peserta didik pun mudah terselesaikan. Tetapi kenyataanya, tidak semua orangtua
peduli permasalahan anaknya sendiri. Terutama bagi keluarga ekonomi bawah.
Alih-alih ikut menyelesaiakan masalah, orangtua ikut menyumbang masalah. Ada
juga yang nyata-nyata melempar masalah ke sekolah, lepas tanggung jawab. Alhasil wali kelas dan guru BK menjadi tumpuan
masalah.
Mungkin teman-teman pernah mengalami
seperti yang saya alami. Namun saya
berusaha menanggapi positif setiap hal. Termasuk jika saya ditunjuk menjadi
wali kelas, dengan segala suka dukanya. Di antaranya jika menemui keluarga yang
bermasalah tadi. Setiap permasalahan selalu menarik untuk dibuat cerita. Dari
sudut pandang mana pun. Cerita anak, cerita remaja, cerita dewasa, juga
artikel. Pengalaman itu saya tulis. Maka jadilah cerpen “Kematian yang
Direncana”.
Salah satu unsur ekstrinsik(di luar
karya) cerpen adalah latar belakang pengarang. Begitu pun dalam cerpen
“Kematian yang Direncana”. Cerpen ini bertutur tentang seorang guru saat
menghadapi orangtua yang keras kepala dan kasar. Hingga ketakutannya berlebihan.
Mungkin karena ia seorang wanita sementara yang dihadapi orangtua lelaki. Hal
lain didasarkan pada pengalamannya yang pernah menghadapi orangtua tersebut,
dulu saat anaknya sebagai peserta didik baru. Waktu itu tidak segan membawa
benda tajam untuk menyelesaikan masalah. Tentu menjadi hal tabu dalam dunia
pendidikan yang sarat muatan pendidikan karakter.
Bagaimana mungkin ada kekerasan
ditambah dengan adanya benda tajam. Dalam menghadapi peserta didik, siapa pun
orang-orang di sekitarnya, selayaknya memiliki sikap mandiri, gotong royong,
nasionalis, relegius, dan sikap-sikap terpuji lain.
Nyaris
terlupa bahwa saya pernah menulis cerpen ini. Saya menulisnya beberapa tahun
lalu. Kemudiaan saya ajukan saat mengikuti Pelatihan Menulis Cerpen 2019 oleh
Balai Bahasa Jawa Tengah. Tentu setelah mengalami perubahan di sana sini
menyesuaikan perkembangan zaman. Pelatihan berlangsung selama satu bulan. Setiap
peserta diwajibkan mengumpulkan satu karya pada akhir pelatihan.
Realisasi
penerbitan menjadi buku antologi membutuhkan proses lama. Kira-kira satu tahun.
Kami harus menunggu semua karya terkumpul kemudian dicetak. Mungkin karena
kesibukan masing-masing setelah pelatihan selesai. Sementara setiap karya yang
diajukan harus melewati revisi mentor. Belum lagi mengirim ulang hasil revisi. Panitia
harus mengumpulkan hasil karya semua peserta sebanyak 42 orang. Salah satu judul
cerpen peserta dipilih menjadi judul buku antologi, Bunga Memerah Kumbang Menari.
Senang dapat berkontribusi dengan
teman-teman yang pernah belajar bersama menulis cerpen. Ternyata persahabatan
kami tidak hanya selama mengikuti pelatihan. Sampai sekarang kami masih
bersilaturahmi. Karena situasi dan kondisi tentu tidak bisa lagi bertatap muka.
Apalagi peserta tidak hanya dari Semarang. Banyak juga yang dari luar kota. Satu
sisi maraknya medsos membuat jarak dan waktu tak terhalangi. Kami saling
memberi semangat, informasi, atau sekadar berkirim kabar melalui grup Whats App.
Dan berharap persahabatan ini berlangsung selamanya.
Menulis adalah sebuah proses. Zaman
terus berkembang. Dengan menjadi insan yang terbuka, selalu menambah ilmu,
sangat berguna untuk menghasilkan tulisan-tulisan yang bernas, bermanfaat,
sekaligus menghibur bagi siapa pun yang membaca. Dengan menulis dapat pula ikut
mencerdaskan bangsa.
Yuk,
menulis!
@@@
Tidak ada komentar:
Posting Komentar