Iis Soekandar: Cerma

Minggu, 04 Maret 2018

Cerma

                                                                                       


Semilir angin Morosari menyibak rambut panjangmu penuh manja. Seakan menyambutmu bersama Ruwi menyongsong indahnya sunset di ufuk sana.
"Kamu haus kan, Dik, aku cari minuman dan makanan dulu, gimana? Nggak pa pa kan kamu nunggu di sini sendiri?" tawar Ruwi sementara kau duduk di atas sepeda motor.
            "Aku sih biasa-biasa aja, Wi, kan  kamu yang nyetir," tukasmu penuh pengertian.
           “Nunggu sunset sambil ngemil, biar seru!”
Tanpa menunggu jawaban, Ruwi langsung meninggalkanmu. Ruwi begitu baik hati, memboncengkanmu dengan sepeda motor dalam jarak  jauh. Entah mengapa tiba-tiba tempo hari kaurindu menikmati sunset. Ruwi yang selalu ingin membahagiakanmu pun dengan senang hati mengantar. Yang terpenting apa yang membuatmu bahagia, begitu semboyannya.
Kau menghela napas panjang. Hingga beberapa lama, sahabatmu itu belum kembali. Resah mulai menggelayuti. Sebetulnya kau tak ingin situasi seperti ini terjadi. Sendirian, berada di tempat kau menghabiskan masa indahmu dulu. Kau kerjap-kerjapkan kedua matamu. Berharap semua bayangan hilang. Namun di kejauhan sana, di lautan lepas, bayangan Rey mengelebat.
Rey.... ah, kendati kenangan pahit terakhir bersamanya, begitu banyak kenangan manis terajut. Saat-saat seperti inilah kau dan cowokmu itu gemar menikmati proses tenggelamnya sang surya di peraduan. Oh Tuhan, kau jadi merasa mengkhianati Ruwi, yang telah berjanji untuk melupakannya.
"Tumben angin Morosari terasa berbeda dari biasanya. Seperti ingin melepasi seluruh tulang,"ungkap Rey tiba-tiba begitu angin semilir berhembus, justru kau merasakan sejuk melepasi peluh. Seolah Rey merasa kepergiannya sore itu mengandug firasat lain.
"Kamu ada-ada aja. Kalau kamu nggak punya tulang, mati dong," ungkapmu tanpa beban mengatakan kematian walau teruntuk orang terkasih.
"Suatu saat pasti kita akan berpisah," ungkap Rey dalam pandangan ke laut lepas. Kau yang juga duduk di atas motor besarnya semakin resah dengan omongannya yang saat itu kauanggap aneh. Namun dalam pengertian lain.
"Berpisah ya berpisah. Bilang aja kamu ingin kita pisah. Tidak perlu nyinggung soal kematian," kau tersulut oleh gosip yang beredar hari-hari terakhir tentang kedekatanya dengan seorang cewek, adik kelas, sama-sama peserta ekstra Pramuka.
"Kamu kenapa sih sensi. Bukankah aku bicara soal kebenaran?"
"O jadi emang benar omongan teman-teman. Mereka tidak ngegosip." Suaramu meninggi membuat Rey semakin tersulut.
"Maksudmu apa, ngajak aku kemari? Hanya untuk bertengkar?”
"Justru kamu yang mengajak bertengkar,"
           Kalian berbantah-bantahan sampai akhirnya karena tidak menemukan jalan temu kau memilih pulang. Dua hari setelah itu, Rey terlibat tawur antarpelajar dan tertusuk dadanya. Saat itu juga nyawanya tak tertolong.
          Beruntung tidak lama setelah itu Ruwi, temanmu SD, hadir. Dia pindah lagi dari kampung halamannya Bandung dan kembali sekolah di sini. 
"Aku ikut berduka, Dik," ungkap Ruwi pada kedatangannya yang pertama. Kau tersanjung, teman dari jauh, lama tak bertemu, tapi perhatiannya tak kurang dari yang dekat.
          Tapi begitulah kau, yang tak dapat begitu saja melupakan orang terkasih yang jelas tak kembali. Seakan kau tak merelakan takdir Tuhan. Mungkin jika Rey pergi tidak atas dasar kematian, kau bisa menerima, apalagi bila pergi karena jatuh ke lain hati.
         “Sudahlah, Dika, dia sudah berada di alam lain,” hibur Ruwi bernada jengkel suatu ketika dalam pergaulan yang sudah akrab. Susah payah mengajakmu ke taman lalu membelikanmu kue maryam kesukaanmu, ujung-ujungnya tetap saja kau melamun.
        “Kamu sudah banyak menghiburku, Ruwi. Tapi jujur, aku memang belum bisa melupakannya. Jadi kalau kamu merasa terganggu dengan sikapku, tolong deh, menjauhlah dariku. Biarkan aku sendiri,” jawabmu bernada marah yang tak terbendung. Bahkan kau langsung berdiri, hendak beranjak. Tapi lagi-lagi sahabatmu yang baik hati itu mengalah dan membiarkanmu dalam kehendak.
        “Maaf, Dik, maaf, “ ranyunya ketakutan membuatmu tersadar lalu kau merasa kasihan dan kembali terduduk.
        Kau semakin tercampak. Kesedihan selalu berujung pada memorimu bersama Rey. Maka bisa dipastikan, tangismu tumpah. Ruwi pun menjatuhkan kepalamu dalam bahunya. Dibelai rambutmu yang lurus. Bau harum sampo semerbak seiring tertiupnya angin.
        Morosari selalu menjadi tujuanmu bersama Rey. Rey yang anak orang kaya tapi tak pernah melupakan dari mana dia berasal. Itu pula yang membuat kalian rajin mengunjungi tempat yang pernah menjadi kampung halaman mamanya masa kecil. Sebagaimana Rey, kau pun terlarut oleh keprihatinan yang mendalam. Hutan mangrov yang tersisa di tengah lautan itu sebagai saksi bahwa pernah ada perkampungan penduduk. Di sana pula mamanya tinggal bersama keluarganya, juga para tetangganya satu desa. Tapi air laut terus mengabrasi. Hingga akhirnya menutup daerah satu desa dan harus berpindah. Kendati satu dua keluarga masih bertahan. Dengan berdalih ingin menjaga makam alim ulama beserta keluarganya.
Kini makam itu ramai dikunjungi. Dibangunlah jalan setapak menuju ke sana. Tidak saja yang ingin berziarah, wisatawan umum juga tertarik mengunjungi karena ada makan di tengah lautan. Maka menjadi objek wisata yang unik. Dan penduduk yang masih bertahan mendapatkan keberkahan dengan menjajakan makanan dan minuman  bagi wisatawan. Dan kau pun ikut berbangga hati atas kisah asal-usul kekasihmu itu. Tak pernah mengeluh walau menempuh perjalanan jauh dari Semarang ke Morosari, Demak. Kini semua tinggal kenangan. Tak ada lagi motor besar membawamu kemari.
       “Kita pulang, yuk!” ajak Ruwi begitu tangismu tak lagi terdengar.
       Tanpa sepatah kata kau beranjak lalu jalan beriringan. Ruwi melindungimu dalam rangkulan yang hangat. Tubuh Ruwi yang lebih besar serta tinggi membuatmu teringat Rey, begitulah dulu pacarmu itu selalu melindungimu, jiwa dan raga. Dan kau merasa beruntung betapa Tuhan telah mengirim Ruwi pada saat kau berada pada titik nadir. Kau pun tak menyia-nyiakan pulang dalam dekapan roda dua di belakang boncengan.
        “Dik, maaf, kamu nunggu lama. Pengunjungnya membeludak. Aku nunggu bakwan matang dari penggorengan,” Ruwi datang dengan napas ngos-ngosan. Kedua tangannya memegang minuman kaleng dan satu kantung plastik berisi bakwan yang masih panas.
       “Ah, nggak pa pa.”
       Matahari mulai masuk ke peraduan. Segera kausiapkan ponselmu. Ini sunset kedua setelah bersama Rey.
       “Rey paling suka sunset. Kami sering menghabiskan waktu berdua demi berlama-lama menunggu saat indah ini,” katamu tanpa sadar terus mengambil gambar dengan sibuk menyebut nama Rey.
       “Dik, sampai kapan kamu berlaut dalam masa lalumu?”
       “Entahlah,” jawabmu nyaris tak terdengar. “Sampai kini aku tak bisa melupakan Rey.”
       “Bukankah sudah ada aku di sampingmu.”
       “Tapi sahabat dengan pacar kan beda, Wi.”
       “Dik, percayalah aku bisa menggantikan Rey.”
       “Ruwi... apa maksudmu?” Kau hentikan segera kegiataan cekrak-cekrek.“Kita kan sama-sama cewek, Wi,” ungkapmu menangkap sesuatu lain.
       “Zaman maju seperti ini kamu masih membedakan cinta cowok dan cewek?”
       “Jadi.. jadi.. kamu selama ini...tidaaaaak..... toloooooooong...” sontak kau bergidik dan lari menembus barisan wisatawan.
Sunset kedua telah menjebakmu dalam kenyataan lain.
@@@

 Cerma ini telah dimuat di harian Analisa, Minggu, 4 Maret 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar