Semilir angin Morosari menyibak
rambut panjangmu penuh manja. Seakan menyambutmu bersama Ruwi menyongsong
indahnya sunset di ufuk sana.
"Kamu haus kan, Dik, aku cari
minuman dan makanan dulu, gimana? Nggak pa pa kan kamu nunggu di sini
sendiri?" tawar Ruwi sementara kau duduk di atas sepeda motor.
"Aku sih biasa-biasa aja, Wi,
kan kamu yang nyetir," tukasmu penuh pengertian.
“Nunggu sunset
sambil ngemil, biar seru!”
Tanpa menunggu jawaban, Ruwi
langsung meninggalkanmu. Ruwi begitu baik hati, memboncengkanmu dengan sepeda
motor dalam jarak jauh. Entah mengapa tiba-tiba
tempo hari kaurindu menikmati sunset.
Ruwi yang selalu ingin membahagiakanmu pun dengan senang hati mengantar. Yang
terpenting apa yang membuatmu bahagia, begitu semboyannya.
Kau menghela napas panjang. Hingga
beberapa lama, sahabatmu itu belum kembali. Resah mulai menggelayuti.
Sebetulnya kau tak ingin situasi seperti ini terjadi. Sendirian, berada di
tempat kau menghabiskan masa indahmu dulu. Kau kerjap-kerjapkan kedua matamu.
Berharap semua bayangan hilang. Namun di kejauhan sana, di lautan lepas, bayangan
Rey mengelebat.
Rey.... ah, kendati kenangan pahit
terakhir bersamanya, begitu banyak kenangan manis terajut. Saat-saat seperti inilah
kau dan cowokmu itu gemar menikmati proses tenggelamnya sang surya di peraduan.
Oh Tuhan, kau jadi merasa mengkhianati Ruwi, yang telah berjanji untuk melupakannya.
"Tumben angin Morosari terasa
berbeda dari biasanya. Seperti ingin melepasi seluruh tulang,"ungkap Rey
tiba-tiba begitu angin semilir berhembus, justru kau merasakan sejuk melepasi
peluh. Seolah Rey merasa kepergiannya sore itu mengandug firasat lain.
"Kamu ada-ada aja. Kalau kamu nggak
punya tulang, mati dong," ungkapmu tanpa beban mengatakan kematian walau
teruntuk orang terkasih.
"Suatu saat pasti kita akan
berpisah," ungkap Rey dalam pandangan ke laut lepas. Kau yang juga duduk di
atas motor besarnya semakin resah dengan omongannya yang saat itu kauanggap
aneh. Namun dalam pengertian lain.
"Berpisah ya berpisah. Bilang
aja kamu ingin kita pisah. Tidak perlu nyinggung
soal kematian," kau tersulut oleh gosip yang beredar hari-hari terakhir
tentang kedekatanya dengan seorang cewek, adik kelas, sama-sama peserta ekstra
Pramuka.
"Kamu kenapa sih sensi.
Bukankah aku bicara soal kebenaran?"
"O jadi emang benar omongan
teman-teman. Mereka tidak ngegosip." Suaramu meninggi membuat Rey semakin tersulut.
"Maksudmu apa, ngajak aku
kemari? Hanya untuk bertengkar?”
"Justru kamu yang mengajak
bertengkar,"
Kalian berbantah-bantahan sampai akhirnya
karena tidak menemukan jalan temu kau memilih pulang. Dua hari setelah itu, Rey
terlibat tawur antarpelajar dan tertusuk dadanya. Saat itu juga nyawanya tak
tertolong.
Beruntung tidak lama setelah itu Ruwi,
temanmu SD, hadir. Dia pindah lagi dari kampung halamannya Bandung dan kembali sekolah
di sini.
"Aku ikut berduka, Dik,"
ungkap Ruwi pada kedatangannya yang pertama. Kau tersanjung, teman dari jauh,
lama tak bertemu, tapi perhatiannya tak kurang dari yang dekat.
Tapi begitulah kau, yang tak dapat begitu
saja melupakan orang terkasih yang jelas tak kembali. Seakan kau tak merelakan
takdir Tuhan. Mungkin jika Rey pergi tidak atas dasar kematian, kau bisa menerima,
apalagi bila pergi karena jatuh ke lain hati.
“Sudahlah, Dika, dia sudah berada di alam lain,”
hibur Ruwi bernada jengkel suatu ketika dalam pergaulan yang sudah akrab. Susah
payah mengajakmu ke taman lalu membelikanmu kue maryam kesukaanmu,
ujung-ujungnya tetap saja kau melamun.
“Kamu
sudah banyak menghiburku, Ruwi. Tapi jujur, aku memang belum bisa melupakannya.
Jadi kalau kamu merasa terganggu dengan sikapku, tolong deh, menjauhlah dariku.
Biarkan aku sendiri,” jawabmu bernada marah yang tak terbendung. Bahkan kau
langsung berdiri, hendak beranjak. Tapi lagi-lagi sahabatmu yang baik hati itu
mengalah dan membiarkanmu dalam kehendak.
“Maaf,
Dik, maaf, “ ranyunya ketakutan membuatmu tersadar lalu kau merasa kasihan dan
kembali terduduk.
Kau semakin tercampak. Kesedihan selalu
berujung pada memorimu bersama Rey. Maka bisa dipastikan, tangismu tumpah. Ruwi
pun menjatuhkan kepalamu dalam bahunya. Dibelai rambutmu yang lurus. Bau harum
sampo semerbak seiring tertiupnya angin.
Morosari selalu menjadi tujuanmu bersama Rey.
Rey yang anak orang kaya tapi tak pernah melupakan dari mana dia berasal. Itu
pula yang membuat kalian rajin mengunjungi tempat yang pernah menjadi kampung halaman mamanya masa kecil. Sebagaimana Rey, kau pun terlarut oleh keprihatinan
yang mendalam. Hutan mangrov yang tersisa di tengah lautan itu sebagai saksi
bahwa pernah ada perkampungan penduduk. Di sana pula mamanya tinggal bersama
keluarganya, juga para tetangganya satu desa. Tapi air laut terus mengabrasi.
Hingga akhirnya menutup daerah satu desa dan harus berpindah. Kendati satu dua
keluarga masih bertahan. Dengan berdalih ingin menjaga makam alim ulama beserta
keluarganya.
Kini makam itu ramai dikunjungi. Dibangunlah
jalan setapak menuju ke sana. Tidak saja yang ingin berziarah, wisatawan umum
juga tertarik mengunjungi karena ada makan di tengah lautan. Maka menjadi objek
wisata yang unik. Dan penduduk yang masih bertahan mendapatkan keberkahan dengan
menjajakan makanan dan minuman bagi
wisatawan. Dan kau pun ikut berbangga hati atas kisah asal-usul kekasihmu itu.
Tak pernah mengeluh walau menempuh perjalanan jauh dari Semarang ke Morosari,
Demak. Kini semua tinggal kenangan. Tak ada lagi motor besar membawamu kemari.
“Kita
pulang, yuk!” ajak Ruwi begitu tangismu tak lagi terdengar.
Tanpa
sepatah kata kau beranjak lalu jalan beriringan. Ruwi melindungimu dalam
rangkulan yang hangat. Tubuh Ruwi yang lebih besar serta tinggi membuatmu teringat
Rey, begitulah dulu pacarmu itu selalu melindungimu, jiwa dan raga. Dan kau
merasa beruntung betapa Tuhan telah mengirim Ruwi pada saat kau berada pada
titik nadir. Kau pun tak menyia-nyiakan pulang dalam dekapan roda dua di
belakang boncengan.
“Dik,
maaf, kamu nunggu lama. Pengunjungnya membeludak. Aku nunggu bakwan matang dari
penggorengan,” Ruwi datang dengan napas ngos-ngosan. Kedua tangannya memegang
minuman kaleng dan satu kantung plastik berisi bakwan yang masih panas.
“Ah,
nggak pa pa.”
Matahari
mulai masuk ke peraduan. Segera kausiapkan ponselmu. Ini sunset kedua setelah bersama Rey.
“Rey
paling suka sunset. Kami sering
menghabiskan waktu berdua demi berlama-lama menunggu saat indah ini,” katamu
tanpa sadar terus mengambil gambar dengan sibuk menyebut nama Rey.
“Dik,
sampai kapan kamu berlaut dalam masa lalumu?”
“Entahlah,”
jawabmu nyaris tak terdengar. “Sampai kini aku tak bisa melupakan Rey.”
“Bukankah sudah ada aku di sampingmu.”
“Tapi
sahabat dengan pacar kan beda, Wi.”
“Dik,
percayalah aku bisa menggantikan Rey.”
“Ruwi... apa maksudmu?” Kau hentikan segera kegiataan cekrak-cekrek.“Kita
kan sama-sama cewek, Wi,” ungkapmu menangkap sesuatu lain.
“Zaman
maju seperti ini kamu masih membedakan cinta cowok dan cewek?”
“Jadi..
jadi.. kamu selama ini...tidaaaaak..... toloooooooong...” sontak kau bergidik dan
lari menembus barisan wisatawan.
Sunset
kedua
telah menjebakmu dalam kenyataan lain.
@@@
Cerma ini telah dimuat di harian Analisa, Minggu, 4 Maret 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar