Apa yang ada di
benakmu jika setelah melalui serangkaian proses panjang hingga tampil sempurna,
kau berpikir menjadi sangat berguna bagi yang lain, kemudian ternyata kau
hanyalah sampah yang menjijikkan?
Yah,
aku tak lagi tampil sempurna. Jauh dari sempurna. Tubuhku gatal-gatal tak
karuan. Di sana sini mulai terdapat lubang. Bauku pasti menyeruak tak
menyenangkan hidung begitu bungkus yang menyelimutiku terbuka. Siapa pun tak
menyangka hal ini terjadi, terlebih
diriku sendiri. Bagaimana nanti reaksi sahabat Lala, Anin, begitu melihatku.
Kupikir
akulah yang paling beruntung, saat tahu akhir tak selalu sisa dan tak berguna.
Akhir menjadi amat berharga jika diburu sementara yang lain tak ada. Bahkan
dengan harga tinggi bisa terjadi. Itulah yang terjadi padaku. Walaupun awalnya
perasaanku biasa saja. Tak apalah menempati saf paling bawah. Siapa yang menyia-nyiakan
sesuatu menjadi makanan khas─ cepat atau lambat pastilah aku akan beralih ke
tangan orang, bahkan orang yang tepat. Berbeda bila keberadaanku di kota ini
sebagai alternatif.
Hari itu, tak sampai satu hari, dagangan Supri
ludes hanya dalam tempo setengah hari. Jarang hal itu terjadi. Hari besar,
akhir pekan, atau pada musim liburan sekalipun. Dua dunak─salah satu tempatku berada─dagangannya, diburu pembeli. Hilir
mudik orang-orang datang memborong. Mereka datang bak membeli pisang goreng.
Mendapatkan barangnya sudah untung. Padahal dua dunak biasanya dua-tiga hari baru habis.
Benar-benar
Jumat berkah bagi Supri. Dan aku menjadi yang terakhir sekaligus diperebutkan
dua pembeli. Serasa menjadi primadona. Jika Supri mematok hargaku tinggi dari
biasanya pastilah pembeli itu tetap akan membayarnya. Tapi begitulah Supri yang
menjaga keorisinalitas rasa maupun harga, tetap memasang harga sebenarnya.
“Pak,
saya tadi pesan duluan,” ungkap seorang gadis penuh nafsu, kutahu setelahnya bernama
Lala. Ada seorang wanita kemudian yang juga mengharapkanku.
Supri
meletakkanku ke dalam kardus lebih lebar sedikit dari seukuranku dengan bagian
atas plastik bening sehingga kemolekanku semakin menggoda.
“Saya
perlu satu buah saja, Pak. Siapa tahu di dalam masih ada!” perintah wanita itu
sambil melongok ke dunak yang telah
kosong. Walau yakin tidak ada barang dagangannya, Supri tetap melakukan
pencarian demi memuaskan pembelinya.
“Maaf,
Bu, memang tinggal satu, sudah diambil Mbak ini,” Supri meyakinkan.
“Ini
titipan, dia minta saya membeli di sini. Kalau Mbak mengijinkan saya akan bayar
berapa pun Mbak minta. Saya yakin teman saya itu pasti tidak keberatan,” bujuk
wanita itu memohon.
“Maaf,
Bu, ini juga titipan teman,” tanpa berpikir panjang Lala membayar kemudian pergi.
Itu
percakapan syahdu yang pernah kudengar. Aku diperebutkan dua orang dan Lala
yang memenangi. Kubayangkan wanita
itu pergi dengan rasa kecewa sementara Supri menutup kedainya untuk segera
mengerjakan salat Jumat.
Kedainya
tak berada di pusat oleh-oleh layaknya makanan oleh-oleh dijajakan. Sebuah
pikap diubah sedemikian rupa hingga menjadi kedai tempatnya berjualan. Samping
kanan dan kiri, juga depan dipasang papan promosi. Sementara bagian belakang
tempatnya bertransaksi dengan pembeli. Warisan
orangtuanya itu cukup dikenal dan membawa berkah. Orang-orang
berdatangan atas merek yang dibuat bapaknya saat masih berjualan dengan ketenaran
rasa yang tiada banding. Pikapnya selalu terparkir di pinggir jalan di tempat
yang sama untuk memudahkan pelanggan dan pembeli lain membeli.
Ditambah
kebaikan orang-orang sekitar yang ikut mempromosikan, terlebih saat ia sedang
pergi ke masjid. Ada saja tukang becak atau sopir angkutan yang dengan kerelaan
hati menerima titipan satu mobilnya berisi dagangan, tentu saja tidak siang itu
karena dagangannya habis. Bahkan dengan kerelaan hati, mau menghibur calon
pembeli agar bersabar menunggu karena pemiliknya sedang salat di masjid.
Aku
dan teman-temanku diproses dari mulai benih yang ditabur oleh pemilik tambak. Setiap
hari diberinya kami makan. Waktu mengubah kami menjadi dewasa. Kemudian di
tangan Supri akhirnya kami dibeli dan diolah hingga tampil sempurna, dan kau
dengar sendiri: diperebutkan oleh seorang gadis dan seorang ibu. Yah, di tangan
Suprilah aku menjadi sempurna. Kami diberi warna kuning, tentu lebih menarik
dibanding putih, warna asli. Ditambah dengan sejumlah bumbu tertentu yang
membut nilai jual kami menjadi tinggi dan disuka seantero kota. Bahkan pembeli
dari luar juga telah mengenal jualan Supri.
Ya
Tuhan, Lala yang semula memperebutkanku dengan pembeli lain, kupikir akulah
satu-satunya barang bawaan. Ternyata ada barang berharga lain.
“Aku
akan memberikan novel-novel ini kepada Anin. Dia kan juga senang membaca novel.
Mumpung bulan bahasa. Banyak diskon!” ungkapnya penuh semangat lalu melangkah
keluar dari toko buku. Lala tidak langsung pulang. Dia masih menambah aneka
kripik dan roti kesukaannya.
Sepanjang
perjalanan dari Semarang, Lala menyimpanku ke dalam kardus mi instan bersama
oleh-oleh lain. Kecuali novel-novel itu, disimpannya di tas pribadi. Aku bisa
tebak, pasti selama di kendaraan perhatiannya pada bacaan novel. Saat tiba di
rumah dia meletakkan begitu saja kardus itu di meja. Seorang diri dia meninggali
rumah orangtuanya yang dulu pernah hidup bersama saat papanya masih berdinas.
Senja
dia baru pulang dari kantor. Penampilannya tak lepas dari masker. Musim panas mengganas; kondisi udara
buruk. Sementara keberadaan AC di rumah sebetulnya tak baik bagi paru-parunya.
Ah serba salah. Untuk itulah ia seringkali memakai masker untuk menutupi hidung
sehingga bernapas agak hangat. Saat tidur sekalipun. Kecuali ketika makan.
Kesibukan
membaca novel menyita waktunya sepulang bekerja. Sambil membaca dia ngemil
makanan dari bungkusan paling atas, begitu seterusnya ke bawah. Di rumah
orangtuanya tanpa ada pembantu. Dia lebih senang bekerja sama dengan beberapa
jasa rumah tangga yang tak tinggal di rumahnya. Laundry, tukang bersih-bersih
rumah, katering, kecuali berada di kantor dia makan di luar. Tempatku tak
berubah, tetap berada paling bawah dengan simpul plastik yang masih rapat dari
sejak aku ditukar dengan sejumlah uang di tempat Supri.
Hingga
suatu ketika keberadaanku terlihat saat camilan di bungkusan atas sudah habis
dan mencari-cari camilan berikutnya. Tangannya meraih kardus pembungkusku.
“Oh,
Tuhan, bukankah tidak hanya novel-novel. Aku juga akan memberi Anin makanan?” katanya
kaget tentang teman sekantornya yang sengaja dijanjikan makanan khas. “Kamu
sih, Nin, buru-buru ambil cuti. Mentang-mentang kelahiran anak pertama.”
Buru-buru
dibungkusnya aku dengan kertas koran lalu meraih kertas kado yang biasa untuk
membungkus bingkisan, berhasrat
mengirimkanku melalui jasa paket keesokan hari sekalian berangkat bekerja. Begitu
pun novel-novel siap dikirim.
Tak
seperti Lala yang penuh bahagia, dia tak melihat keberadaanku yang mulai terasa
gatal-gatal. Tapi apa dayaku. Aku hanya bisa menerima nasib. Manusia yang penuh
ketamaan itu dengan seenaknya memperlakukanku.
Sampai
berhari-hari aku berada pada jasa paket.
Akhirnya
aku sampai di rumah Anin. Anin menerimaku dari kurir. Dia senang mendapatkan
makanan yang dijanjikan. Temannya itu mengirim makanan yang menjadi ciri khas
tanah kelahirannya, Semarang.
Anin
segera membuka. Raut wajahnya menampakkan curiga. Hidungnya kembang kempis. Tapi
apa yang terjadi saat Anin bersuka cita membuka bungkus yang melindungiku? Anin
hanya memandangku tak mengerti, tak berbuat apapun, dia terkaget-kaget.
Untunglah dia bukan penjijik. Setelah itu lebih banyak terpekur. Mungkin dia
mengasihani aku yang susah-susah dibeli tetapi tidak lagi berguna. Apa yang
telah dilakukan temannya sungguh terlalu. Barangkali itu yang ada dalam
benaknya. Dengan berat hati dia membawaku yang masih dalam bungkus menuju ke
tempat sampah. Lalu...
Bruk!
“Sungguh
keterlaluan, Lala. Memberiku bandeng presto penuh belatung. Jadi ini yang dia
maksud makanan khas?” umpatnya “Untung Lala juga memberiku novel,” tambahnya dengan tangan kanan membawa
novel yang sedang dibaca. Lalu
segera
berlalu dari tong sampah
Aku
menangis dengan tubuh penuh lubang di sana sini. Apakah tangisku juga tangismu?
@@@
Catatan:
Dunak: bakul besar terbuat dari
anyaman bambu.
Cerpen ini memenangi Lomba Menulis Cerpen Dalam Rangka
Memperingati Bulan Bahasa Tingkat Kota Semarang 2023 oleh MGMP Bahasa Indonesia
SMP, tema: “Semangat Pemuda dalam Bulan Bahasa”, sebagai juara 1.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar