Kesederhanaan Pada Era Modern
Judul
novel : Buku Ini Tidak
Dijual
Penulis : Henny Alifah
Penyunting
bahasa : Mastris Radyamas
Penerbit : Indiva
Ketebalan : 192 halaman
Ukuran : 20 cm
ISBN : 978-602-1614-48-8
Cetakan
I : Jumadil Awal 1436 H / Maret 2015
Harga : Rp 46.000,00
Hidup pada
era modern tidak harus mengesampingkan kesederhanaan, apa adanya, dan menerima
keadaan. Tergambar secara eksplisit dari judulnya, “Buku Ini Tidak Dijual”. Itulah
yang terkesan setelah membaca novel ini.
Sesederhana
judulnya yang tidak perlu berpikir panjang untuk menerjemahkan maknanya, isinya hanya mengangkat
satu persoalan, “tidak menjual buku”, dalam hal ini yang menjadi harta berharga
dalam hidup tokohnya. Tidak ada sisipan persoalan-persoalan lain sebagaimana cerita
fiksi panjang seperti novel-novel pada umumnya. Setting yang diambil didominasi
daerah perkampungan atau pedesaan dengan latar khas, banyak pepohonan, budaya
rasa peduli antarwarga, dan penggunaan bahasa daerah yang kental. Ditunjang
dengan pergantian tiap bab tanpa diberi judul bab melainkan diungkapkan melalui
urutan angka : satu, dua, tiga, dan seterusnya hingga selesai. Sebab tidak ada
kejadian lain yang perlu diangkat dalam cerita sehingga harus membuat judul bab
dengan kata-kata atau kalimat, kecuali hanya mengejar satu target, “tidak
menjual buku”.
Bercerita
tentang tokoh Padi yang bekerja di ibukota. Kecintaan Padi pada buku terlihat
ketika di kereta yang penuh sesak oleh penumpang. Orang umum barangkali merasa kurang nyaman
membaca di angkutan umum, terlebih dengan penumpang penuh, entah alasan pusing
atau berdesakan dengan penumpang lain. Tapi
Padi tetap melakukannya. Mengingat Jakarta diburu pendatang dari berbagai penjuru
Indonesia untuk berbagai kepentingan. Tidak heran mereka memadati pula angkutan
umum seperti kereta. Bahkan ketika penumpang seorang wanita hamil yang
diberinya tempat duduk menyatakan keherannya, ia berdalih bahwa kegemarannya
membaca dilandasi wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Hal
itu jelas terkandung makna bahwa dengan membaca orang menjadi pintar.
Setahun
sekali Padi pulang ke kampung halaman untuk bertemu ayahnya, sekaligus Gading,
anaknya semata wayang yang sudah mahasiswa. Sesuatu yang tidak disangka adalah lenyapnya
aset paling berharga dalam hidupnya, melebihi rasa sayangnya kepada dua orang
yang masih hidup karena istrinya telah meninggal. Dan kelak menjelang akhir
cerita diketahui almarhumah istrinya juga mendukung kecintaannya pada buku.
Terlihat pada setiap halaman buku pada akhir cerita terpampang foto-fotonya. Pada
saat pulang ke kampung itulah terjadi malapetaka.
Di
perjalanan menuju ke rumah, ia melihat sebuah mobil terbuka mengangkut lima
karung buku keluar dari halaman rumahnya. Ternyata ia mengetahui bahwa buku-buku
itu adalah miliknya yang dikoleksi dari SD. Betapa ia marah. Perang dingin pun
terjadi di rumah antara Padi dengan ayahnya. Gading, anaknya, ikut dituduh
mendukung penjualan buku-buku itu karena tidak menghentikan niat kakeknya,
tetapi justru ikut meringkasi dan memasukkannya ke dalam karung. Gading
mengerti perasaan ayahnya. Ia bisa bayangkan bagaimana perasaannya seandainya
barang koleksinya dijual. Maka dengan berdalih tidak ingin gitar koleksinya
juga ikut raib dijual ia pun bertekat mengembalikan buku-buku itu.
Petualangan
pun dimulai. Gading tidak sendirian. Ia menemui sepupunya, Kingkin yang tempat
tinggalnya masih satu desa. Dengan kerelaan hati Kingkin pun bersedia
menelusuri keberadaan buku-buku itu agar kembali ke tangan ayah Gading.
Keduanya kemudian memulai mencari alamat pengepul yang membeli buku-buku itu.
Mereka berharap buku-buku itu belum
jatuh ke
orang lain karena waktu menjualnya tidak lama.
Ternyata buku itu sudah diserahkan Doni,
anak Pak Mersudi, pengepul yang membeli buku-buku itu kepada lembaga pendidikan
atau sekolah atau pondok untuk pembelajaran. Setelah melalui lobi dan
perundingan yang tidak mudah dengan pihak-pihak yang merasa sudah memiliki,
akhirnya buku-buku itu bisa kembali. Walau harus menebus dengan uang terlebih
dahulu, waktu sehari semalam terasa begitu lambat mengingat proses pengembalian
buku tidak semudah membeli buku pada umumnya. Bahkan Gading nyaris kehilangan
nyawa saat di jalan bertabrakan dengan truk. Beruntung ia terlempar sehingga hanya lecet dan memar pada tubuhnya. Sementara
kendaraannya ringsek.
Persoalan
tidak berhenti sampai di situ. Karena petualangan berjalan demikian berliku,
tengah malam mereka masih di perjalanan. Petualangan bertambah seru ketika di
tengah jalan bertemu dengan perampok. Mereka meminta uang. Gading menolak
karena uang sudah habis untuk menebus buku-buku. Tapi naas, tidak ada uang,
buku pun jadi. Bukankah buku bila diloakkan pada akhirnya mendatangankan uang ?
Gading tambah naik pitam. Meski cedera pada kaki belum sembuh akibat terlempar
dari kendaraan yang nyaris menghilangkan nyawanya, pertarungan itu berhasil
dimenangkan Gading. Gading tidak sendirian, dalam proses perjalanan
mengembalikan buku ada orang lain yang membantu. Akhirnya buku itu berhasil
dibawa pulang.
Novel ini
nyaris sempurna jika penulis tidak memaksakan kejadian kebetulan. Kebetulan
bahwa wanita hamil yang diberi tempat duduk Padi di kereta menjelang kepulangannya
ke kampung ternyata anak pengurus MI, semacam sekolah SD Islam, yang membeli
buku-bukunya sebanyak dua karung. Begitupun pertemuan Doni, anak Pak Mersudi,
pengepul yang membeli buku dan belum pernah ditemui oleh Gading kecuali
mendengar suaranya melalui telepon. Ketika terjadi kecelakaan dan nyaris
menghilangkan nyawanya, diantara kerumumanan orang yang melihat ada pemuda
berperawakan kurus. Ketika Gading tersadar dan berteriak buku-bukunya dalam
karung terbengkelai di painggir jalan, pemuda itu menoleh. Ada yang mengusik
hatinya. Tiga karung buku itu semula dibawanya dari ayahnya yang pengepul. Yah
dialah Doni, anak Pak Mersudi. Kemudian
Gading
dan Doni bekerja sama memulangkan buku itu kepada Padi. Dunia pun terasa sempit
hanya berputar dari para pelakon yang terlibat cerita.
Mengangkat
tema pentingnya buku di tengah era digital, dengan penggunaan internet begitu
merajai, justru menjadi kelebihan. Secara eksplisit cerita ini mengingatkan
kepada pembaca bahwa buku tidak lekang oleh waktu. Hingga berpuluh-puluh tahun
dan lintas beberapa generasi, buku akan tetap utuh. Bayangkan bila menggunakan
buku elektronik yang kini marak menjadi trend.
Berapa
kali berganti gadget atau gawai.
Itupun masih belum ada jaminan buku elektronik tetap utuh. Sebab benda
elektronik tentu sangat rawan. Misalnya terkena virus. Belum lagi membutuhkan
perawatan ekstra. Terjatuh akan rusak. Sementara buku terjatuh beberapa kali
tetap utuh. Harga satu gawai bisa untuk membeli berpuluh buku. Disamping itu
buku ramah pandangan. Buku hanya membutuhkan jarak pandang normal agar mata
tetap sehat. Tapi gawai membawa radiasi mata.
Dari segi
bahasa novel ini mudah dipahami. Bahkan oleh orang awam sekalipun. Bahasa yang
digunakan adalah bahasa dalam pergaulan sehari-hari. Kalaupun ada
bahasa daerah dalam hal ini bahasa Jawa, mudah dicari terjemahannya karena kata
kunci terletak dalam catatan kaki. Bukan diletakkan di halaman buku bagian
belakang.
Sebagai
bacaan pada waktu senggang novel ini cukup menghibur. Disamping membuat pembaca
tersadar bahwa teknolgi tidak selamanya membawa kebaikan bagi penggunanya.
@@@
Tidak ada komentar:
Posting Komentar