Saya
pernah berdebat seru dengan seorang teman ketika berniat mengajaknya ke Kali
Kesek Village. Tempat wisata ini menyajikan terapi ikan, yang tidak saya
temukan di tempat-tempat wisata, seputar Semarang.
Kali Kesek Village dapat ditempuh
dengan bus Transsemarang jurusan Cangkiran. Dari terminal Cangkiran belum ada
angkutan umum. Saya pernah bertanya kepada sopir angkutan, kala itu mengantar
rombongan kami, sejauh mana hingga tidak ada angkutan umum, padahal tempat
wisata itu semakin terkenal. Ia menjawab, kira-kira 10 km untuk sampai di
tempat tujuan. Di samping itu, jalanan tidak memungkinkan kendaraan-kendaraan
roda empat bersimpangan. Mereka pulang lewat jalan lain, menuju Boja.
Teman saya ngeri melintasi jalan
setapak sejauh itu, di kanan kiri pepohongan, berboncengan dengan sopir ojek
online. Nyali saya ikut menciut. Entah kapan lagi saya menemukan rombongan yang
bertamasya ke sana.
@@@
Mukena belum saya lepas ketika pintu
rumah diketuk. Saya menyelesaikan wirid. Setelah itu, saya beranjak keluar,
dengan mukena tergulung sepinggang, tak enak tamu menunggu lama.
Angin lebih dulu masuk dan mengurangi
gerah begitu pintu saya buka.
“Eh, Mbak….” Saya ajak ia masuk ke
ruang tengah dan duduk santai. Tetangga saya itu segera mengutarakan maksudnya.
Suara televisi dari Sapa Indonesia Malam saya kecilkan.
“Pengurus kampung akan mengadakan
wisata, di tiga tempat….”
Saat itu saya seperti menemui malam
lailatur qadar ketika ia menyebutkan salah satu tempat wisata adalah Kali Kesek
Village. Saya langsung mendaftar.
Hari-hari serasa jalan melambat. Hingga
tiba waktunya, kami berwisata ke pemancingan dan tempat religi. Terakhir, rombongan
diajak ke tempat saya impikan. Setelah membayar tiket masuk Rp2.000,00 per
orang, dan parkir kendaraan, angkutan masuk di tempat parkir. Dua odong-odong
dan kendaraan-kendaraan lain, mayoritas mobil-mobil angkutan, berada di sana.
Seperti
namannya, suasana lekat alam pedesaan. Kedai-kedai sederhana dari bambu ramai
pembeli. Pemiliknya para warga setempat yang menjajakan soto dan gendar pecel,
dan oleh-oleh: kolang-kaling dengan harga jauh lebih murah disbanding di pasar
tempat saya biasa berbelanja, tiwul (makanan dari tepung singkong diolah pakai
gula merah), dan aneka keripik. Para pengunjung berswafoto, terlebih di spot
Kali Kesek Village.
Saya
semakin tak sabar saat melihat kali-kali atau sungai-sungai, diceburi kaki
orang-orang yang memanfaatkan gigitan ikan-ikan terapi.
Setelah salat Asar, saya langsung mendatangi kedai langganan. Saya memesan soto batok. Selain menjual soto dan gendar pecel, pemilik kedai juga memfasilitasi pemesanan kolang-kaling dan tiwul. Saya langsung melepas sandal jepit, dan menceburkan kedua kaki. Ikan-ikan terapi langsung menyerbu. Rasa geli merasuki seluruh tubuh saya. Beramai-ramai saya tertawa bersama pengunjung-pengunjung yang waktu itu juga baru datang.
Pesanan
datang lama tak terasa karena ulah ikan-ikan yang menggelitik. Saat kaki telah
bersih dari kotoran, satu demi satu ikan-ikan pergi. Saatnya saya menyantap
soto batok yang segar, hanya dengan membayar Rp8.000,00, perut kenyang.
Sore semakin larut, langit hitam
mungkin tak lama menumpahkan airnya, tak menyurutkan para pengunjung datang.
Mugkin mereka juga seperti saya, yang tak sabar ingin menikmati gigitan
ikan-ikan terapi.
@@@