“Iya, Pak, iya, saya tunggu di depan kantor,”suara Yuanita
memberi konfirmasi pada taksi online
yang sedang dipesan sembari mulai menahan dingin. Napasnya mendesah merasakan
hujan yang sedang dalam musimnya dan tak memberi kesempatan jeda walau sesaat.
Tragisnya, transportasi yang biasa mengantarnya kemana pun pergi malah masuk
bengkel.
Jejeran sesama orang berteduh di depan kantor
yang sudah tutup bertambah satu-satu. Yuanita semakin merapatkan kedua tangan
di dalamsweater-nya. Tidak ada alasan
lagi melihat penanda waktu di pergelangan tangan layaknya pagi hari alasan tak
mau keduluan si Bos. Sekalipun terlambat pun si Bos tidak mempermasalahkan. Dia
tahu hanya sekali tempo dan oleh halangan. Yuanita memang sedang menginginkan
kesendirian. Kesendirian untuk terus mengurai persoalan namun tak kunjung
menemui jalan keluar.
@@@
“Kamu
harus bisa menjawab tantangan Ibu, Nit! Please,
aku tidak ingin kita berpisah gara-gara kamu keberatan melakukan yang Ibu
inginkan pada calon menantu perempuannya.”
“Iya,
iya, Wi, kamu kenapa snewen begitu.
Aku kan juga butuh waktu untuk belajar. Nggak bisalah dengan serta merta
melakukannya. Surve dulu,nyaribahan-bahannya yang mudah didapat, lalumempratikkannya.
Baru kemudian berani melakukannya di depan Ibu.” Yuanita mulai menyebut ibu bukan
lagi ibumu, itu pertanda sekian persen hidupnya sudah menjadi bagian keluarga
Wibowo.Berharap lelaki itu juga merasakan sehingga tak terus menekannya.
Aroma
kopi mendadak hambar, Yuanita menyayangkan. Nyatanya Wibowo begitu gusar bahkan
menyinggung tidak mau kehilangan dirinya. Alunan gending Jawa semakin
menyayat-nyayat dalam resto berkonsep joglo.
“Mas
Irul?” suara dari balik jendela mobil yang datang membuyarkan lamunannya.
Lelaki yang berada di antara jejeran itu pun segera menghampiri taksi online.
Suasana
kembali seperti semula begitutaksi berlalu.Gemuruh hujandengan sesekali diiringi
petir masih menyelimuti. Hubungan Yuanita dengan Wibowodirundung rasa gelisah
semenjak pernyataan ibu, kendati tak juga diwarnai pertengkaran.
“Istrimu nanti harus bisa masak sayur gudeg. Itu tradisi dalam keluarga
kita. Canggah, buyut, eyang,ibu, saudara-sadaramu, bahkan cucu, cicit, semua
keturunan keluarga kita harus meneruskan tradisi,” kata ibu waktu itu.
Yuanita
yang tidak tahu menahu soal memasak tentu saja syok mendengarnya.Apalagi pada
kemudian hari, mendengar sayur gudeg yang dimaksud ibu. Tidak sekadar sayur gudeg
menurut ukuran orang umum. Yuanita baru sekali itu mendengar memasak sayur
gudeg dengan campuran batok kelapa dan daun jati. Dia bergidik mendengar
penuturan Wibowo.
Begitulah
permintaan ibu, keharusan memasak sayur gudeg dengan istilah “meneruskan
tradisi”. Terang saja setelah itu Wibowo kelimpungan, takut kehilangan dirinya.Dia
benar-benar tidak menyangka ibu juga memberlakukan `meneruskan tradisi` kepada
menantunya. Wibowo hanya sendiko dawuh,
menerima begitu saja, tidak ada kamus dalam keluarganya membantah hal-hal yang
sudah digariskan orangtua, bahkan oleh tradisi yang tidak lazim ukuran zaman
sekarang, sekalipun.
Yuanita
wanita karir, sehari-hari hidupnya dihabiskan di meja kantor, makanan tinggal
memesan katering, apalagi sekarang ada jasa online
yang siap melayani makanan apa pun yang ia mau, tiba-tiba disuruh memasak.
Waktu
itu perkenalan keluarga, Lebaran kemarin. Setelah acara perkenalan, ibu
memanggil Wibowo ke dalam. Maharani, satu-satunya anggota keluarga yang ada
waktu itu selain ibu, ke belakang mengambil minuman. Yuanitaleluasa mendengar semua
pembicaraan Wibowo dengan ibunya. Meski dalam bahasa Jawa Kromo,dia tak bego-bego
amat mengerti maksudnya.
“Kalau tidak
memintanya sekarang, Ibu tidak yakin dia mau melakukannya setelah menjadi
istrimu kelak. Setinggi dan sesukses wanita berkarir harus bisa melayani
suaminya, termasuk urusan dapur,” kata ibu.
@@@
Semenjak
itu, Yuanita rajin menghabiskan ritual paginya di dapur, tempat yang selama ini
terlepas dari perhatiannya. Ia lebih senang menikmati secangkir kopi dan
setangkup roti berisi meses atau selai di depan televisi.Kendati jarak antara
ruang tengah dengan dapur hanya beberapa langkah dan tanpa sekat.
Dilihatnya
sudut demi sudut dapur, tidak ada perkakas dapur, kecualialat makan dan minum
yang dibawanya dari rumah mamanya, juga beberapa alat memasak sederhana, lalu
kulkas dan dispenser.Kompornya sudah lama menganggur semenjak jasa online juga menyediakan pemesanan
makanan dengan mudah. Itu sebabnya ia akan meminta tolong temannya kelak jika
sudah siap `meneruskan tradisi`. Seorang teman sekantornya kebetulan asli kota
ini dan masih singgel. Temannya bersedia meminjamkan dapur beserta semua
perlengkapan membuat sayur gudeg. Tinggal menunggu Yuanita siap.
“Ma, tidak masak gudeg?” tanya Yuanita saat
mudik, memancing mamanya walau dia tahu wanita yang melahirkannya itu tidak pernah
memusingkan soal masakan. Memasak bagi mama bukan hal penting. Terbukti
tanggapan mama berbeda.
“Gudeg? Kamu kangen gudeg Pungkuran?
Jelas saja, semenjak Lebaran baru sekarang kamu pulang. Biar nanti Mama suruh
Suri membeli,” berondong mama. Pungkuran adalah nama tempat dan lebih terkenal
ketimbang penjualnya.
“Ah, enggak, Ma, cuma tanya aja.”
Surut sudah rencananya. Jawaban mama melencengkan niat semula yang ingin
bertanya bagaimana cara memasak sayur gudeg sekaligus mempraktikkan seperti
yang diingini ibunya Wibowo.
Jujur, semenjak ibunya Wibowo menyuruh
agar membuat sayur gudeg, dia tidak begitu berselera lagi makan gudeg. Sulit
dibayangkan batok kelapa dan daun jati yang biasanya berada di tong sampah
harus dicampur dalam masakan. Terlepas alasan batok kelapa diletakkan di dasar
panci agar gudeg tidak gosong dan daun jati digunakan sebagai pemberi warna cokelat.
Kendati dia percaya kedua penghuni sampah itu pasti tejamin kehigienisannya
setelah dicuti bersih, hingga detik ini Yuanita belum bisa menerima.
Sekali waktu mama memang memasak sayur nangka
muda, bahan yang sama untuk membuat gudeg, tapi cukup diberi santan banyak dan
bumbu dengan pengolahan jauh lebih sederhana dibanding memasak gudeg yang
diingini ibunya Wibowo. Itu pun mama merasa rumit maka jarang mengolahnya dibanding
masakan tanpa santan seperti cap cay, sayur sup, sayur asam, masakan kesukaan
keluarga.
@@@
“Ibu benar-benar tidak fair. Masak Mbak Nita disuruh memasak
gudeg. Zaman modern begini,” gerutu Maharani, adik bungsu Wibowo yang kuliah di
Bandung. Waktu itu Yuanita baru datang, kemudian Wibowo diminta mengantar ibu
ke rumah saudara.
“Iya, kasihan Mbak Nita, wanita karir yang
kehidupnya dari pagi hingga senja berada di kantor malah disuruh masak gudeg,”
tambah Nadine, kakak Maharani yang sedang menyelesaikan skripsinya di Institut
di Bogor. Yuanita yang duduk di antara mereka hanya senyum-senyum.
“Kalian lebih baik tidak usah ikut bicara.
Kalian belum merasakan berumah tangga,” tanggap Mbak Kartika, kakak nomor dua Wibowo.
“Gudeg itu filosofi keluarga kita,” serang
Mbak Sari, kakak sulung Wobowo yang juga sudah berumahtangga.
“Masa gudeg sebagai filosofi, ini zaman now, Mbak, bukan old,” sanggah Maharani nyinyir. Yuanita tidak menyangka pembicaraan
menjadi meruncing. Sementara dia hanya terdiam tidak tahu harus berbuat apa.
“Filosofi bahwa rido Allah itu ridho
orangtua.”
“Tapi kan tidak harus masak gudeg, Mbak.”
“Dik Rani, Dik Nadine, sudahlah, tidak apa,
niat Ibu itu baik. Lagi pula sesibukapapun, setelah menjadi istri Mas Wibowo
aku pasti juga masuk dapur. Jadi apa salahnya mulai memasak dari sekarang,
diantaranya ya ... masak sayur gudeg itu,”Yuanita mencoba mencairkan suasana.
“Tuh, dengar, Nita saja mau menyadari,
kalian malah membangkang.”
Kedua adik Wibowo memilih pergi. Yuanita
cuma senyum-senyum. Lalu kedua kakaknya itu mengatakan kalau ibu harus dijaga
perasaannya. Ibu sudah kehilangan separo keping hatinya, siapa lagi kalau bukan
almarhum bapak. Tragisnya Wibowo tidak hanya satu-satunya anak lelaki,ia juga
tinggal bersama ibu. Maka lengkaplah kesempurnaan yang harus Yuanita tunjukkan
kepada keluarga itu, terutama di depan ibu.
Terbayang dua lelaki yang pernah mampir
dalam kehidupannya. Cinta pertamanya dengan Rivaldo kandas karena keduanya sama-sama
tak mampu menjalin hubungan jarak jauh. Setelah tak menemukan jalan keluar
akhirnya mereka berpisah. Kemudian Rivaldo mendapatkan pengganti teman satu kuliah
yang sekarang menjadi istrinya. Mereka sekarang menjadi interpreneur muda di
bidang kuliner. Sementara Yuanita jadian sama Irvan. Tapi sayang, cinta keduanya
juga kandas karena planning ke depan
tidak lagi cocok.Irvan yang ekonom kini juga hidup bahagia bersama istrinya.
Yuanita merasa putusnya lantaran sesuatu
prinsip, sangat menyangkut masa depan. Dan tidak pernah sedikit pun
mempersoalkan masalah makanan. Mereka tinggal mendatangi restoran yang
diingini. Sedikit pun tidak membahas sesuatu yang yang tidak perlu. Ah tidak
perlu menurut siapa? Mungkin setiap orang punya filosofi dan budaya yang
berbeda. Dan memasak, terlebih sayur gudeg, benar-benar di luar dugaan Yuanita.
@@@
“Dengan Mbak Yuanita?” akhirnya nama
Yuanita disebut dari balik kaca jendela mobil.
“Iya, Mas,” tanpa berpikir panjang ia
pun melangkah dan masuk dalam mobil.
Mobil memutar balik.Yuanita duduk dalam
diam. Kebiasaan menyetir mobil sendiri membuatnya tak pernah duduk di belakang.
Tidak lama setelah mobil melaju dalam perlahan...
“Sendirian saja, Nit?” Nita terkaget
dalam penyapaan tidak biasa antara penumpang dengan driver.
“Anda...” memaksa Yuanita untuk menoleh.
“Tidak usah sok resmi. Bagaimana mungkin
aku tidak mengenal Yuanita Larasati, nama yang terakses dalam panggilan
orderan. Analisis Kredit sebuah bank yang pernah hadir dalam kehidupanku.”
“Rivaldo?” sikap tak peduli dan lebih
cenderung merendahkan membuat Yuanita tak pernah membaca nama driver setiap memesan ojek atau taksi online.
“Namaku belum berubah.”
“Kamu...” tak tega Yuanita melanjutkan
kalimatnya.
“Tidak perlu sungkan. Harus menatap
kenyataan, Nit. Inilah hidup yang harus kujalani...”
Lalu meluncurlah cerita Rivaldo yang
tidak disangka. Tingginya persaingan bisnis sementara ia dan istrinya tidak
mampu mengikuti kemajuan teknologi, membuatnya mencari jalan lain untuk
menghidupi anak dan istrinya. Sementara bisnis kuliner yang omsetnya tidak
sebanyak dulu cukup istrinya yang mengelola. Irvan juga tak jauh beda
dengannya. Lelaki yang pernah satu kelas itu juga memanfaatkan mobil pribadinya
menjadi bagian taksi online di
kotanya demi menambah pendapatan keluarga. Dia menunjukkan, sebuah tantangan
harus dihadapi dengan penuh “keberanian”.
Yuanita terpaku hingga kepulangannya di
apartemen. Nyaris dia terlupa, tiada yang sempurna di dunia ini. Sesegera
mungkin aku mulai mencoba memasak gudeg. Untuk kemudian menyajikannya di depan
ibu. Yah, demi menjawab tantangan calon ibu mertua.
@@@
Cerpen
ini perndah dimuat di tabloid NOVA edisi 5-11 Februari 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar