Arak-Arakan Semarakkan Takbiran
Oleh:
Iis Soekandar
Kami berbahagia tinggal di kompeks yang masyarakatnya
menganut agama Islam yang kuat. Sehingga setiap hari besar Islam selalu
dimeriahkan. Di antaranya saat Lebaran tiba.
Dalam
penanggalan Hijriah pergantian tanggal dan hari setelah pukul 6 malam. Berbeda
pada penanggalan Romawi berganti baru pukul tengah malam. Maka setelah puasa
Ramadhan memasuki hari terakhir, tepatnya setelah buka puasa terakhir, malam
Lebaran pun tiba.
Malam
Lebaran terkenal pula dengan malam takbir. Sebab pada saat itu disunnahkan mengucapkan
kalimat takbir. Di daerah kami malam takbir adalah saat yang ditunggu-tunggu.
Sebab malam itu kami akan melihat arak-arakan. Arak-arakan tidak hanya menampilkan anak-anak kecil berkeliling kompleks sambil mengumandangkan kalimat takbir dan
menabuh bedug, sebagaiman yang terjadi di daerah lain pada umumnya.
Hal yang
istimewa dari arak-arakan itu karena dipamerkan hasil kreasi dari masyarakat
setempat. Sebagaimana yang terlihat pada karnaval menyambut hari Kemerdekaan
RI. Hanya kali ini lebih bernuansa agamis. Kampung-kampung di seputar kompleks
diminta partisipasi membuat hasil karya. Setiap hasil karya didanai sebesar Rp 350.000,00 oleh masjid tempat kami bernaung. Tentu tidak
menutup kemungkinan mereka nombok
bila biaya yang dibutuhkan melebihi dari sumbangan dana. Tim kreatif dari
setiap kampung tentu berlomba ingin menyumbangkan hasil terbaik untuk
memeriahkan malam takbir. Mereka harus bekerja keras, apalagi waktu yang
diberikan tahun ini hanya dua hari.
Hasil kreasi itu ada yang berupa replika masjid,
sebagaimana yang dibuat oleh tim kreatif dari kampung tempat saya tinggal. Tim
kreatif membuat replika berbentuk masjid, sebagai lambang pusat peribadatan
umat Islam. Bahan utamanya dari styrofoam kemudian di pinggir masjid dihiasi
dengan tanaman dan rerumputan dari bahan plastik. Penampilan masjid menjadi hidup
setelah ditambah lampu di sana sini. Maka untuk menghidupkan lampu, mereka
harus menyediakan genset selama arak-arakan berlangsung.
Hasil
kreasi dari kampung-kampung lain ada yang berupa boneka doraemon, boneka
seorang Bigbos yang sedang memegang
tasbih, mungkin sebagai perwujudan keinginan dari masyarakat agar orang kaya selalu
bertasbih dan selalu ingat kepada Tuhan, sehingga tidak melakukan tindakan
asusila, seperti mengorupsi uang rakyat. Ada juga boneka warak, binatang yang
menjadi ikon kota Semarang yang selalu dimeriahkan menjelang puasa Ramadhan
tiba. Lalu bangunan bulan sabit dengan tulisan Al Asmaa Ul Khusna di dalamnya,
dan tentu semua boneka dan bangunan itu dalam ukuran besar.
Hasil
kreasi itu diarak dari kampung masing-masing lalu berhenti di alon-alon masjid
dengan iringan gema takbir dan kembang manggar. Masyarakat pun berkumpul
menunggu hasil kreasi yang beraneka ragam. Zaman yang semakin maju tidak kami
sia-siakan. Berbagai android dengan beragam harga dari yang mahal hingga
terjangkau, membuat kami banyak pula yang memiliki. Jadi kami tidak hanya
menonton, melainkan juga selfie-selfie
di depan hasil kreasi sebelum mereka di arak keliling kompleks.
Tidak
hanya anak-anak, remaja, orang dewasa, dan orangtua berkumpul untuk menyaksikan
arak-arakan. Bahkan banyak pula masyarakat dari luar kompleks yang hadir dan
ikut memeriahkan. Sebagian dari mereka ikut berjalan mengikuti arak-arakan.
Sebelum keliling kompleks, terlebih dahulu
diawali sambutan dari takmir masjid. Setelah itu letusan petasan terdengar
beberapa kali. Barulah arak-arakan mulai berjalalan. Mereka berjalan seputar
kompleks. Sedangkan bagi penduduk yang enggan datang ke alon-alon masjid, cukup
menunggu di depan kampung atau di pinggir-pinggi jalan hingga arak-arakan lewat.
Sambil
melantunkan takbir, tabuhan bedug, kami berjalan mengarak hasil kreasi. Gema
tekbir pun terdengar dimana-mana. Tidak hanya kami yang mengikuti arak-arakan,
yang berdiri di depan kampung dan pinggir-pinggir jalan juga ikut bertakbir. Kami
berjalan mengelilingi kompleks dengan penuh suka cita. Apalagi khusus bagi
anak-anak kecil setelah berkeliling dibagikan snack dan air mineral.
Ada
sesuatu yang hilang dalam hati, saat tanpa kami sadari, langkah kaki menapaki
kembali alon-alon masjid. Itu berarti kami harus menunggu satu tahun ke depan
untuk kembali menikmati arak-arakan dengan hasil kreasi.
@@@
Esai ini terpilih sebagai pemenang cong ad edisi harian, lomba blog cerita Lebaran, Kompas Klasika, dimuat 30 Juni 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar