Iis Soekandar

Kamis, 30 Juni 2016

Curahan Hati Iis

Menghitung Hari

       Bukan maksud saya meniru atau memplagiat kalau judul tulisan ini sama dengan judul lagu yang pernah dinyanyikan diva Indonesia. Apalagi saya tidak ada niatan sedikit pun menjadi terkenal. Cukuplah setidaknya tulisan ini untuk mengevaluasi diri saya sendiri. Sudahkah saya memenuhi janji mengisi blog setidaknya satu naskah satu bulan?
       Sebelum pertanyaana itu terjawab, selayaknya saya bertanya kepada diri sendiri terlebih dahulu. Seberapa sering mengisi stok naskah di media-media yang menjadi langganan saya kirimi. Setelah saya ingat-ingat hanya dua naskah, itupun untuk satu media. Kalau saya mengaku menulis sebagai pekerjaan mestinya tidak ada alasan membuat naskah-naskah lalu mengirimkannya. Walaupun saya sedang mengerjakan novel. Karena novel berbeda dengan cerpen. Cerpen berbeda dengan novel. Masing-masing punya masa terbit yang berbeda pula.
       Saya menargetkan bahwa tulisan yang saya tampilkan di blog adalah yang sudah melewati tangan redaktur. Bukan tulisan asal menulis. Saya tidak mungkin mengecewakan teman-teman. Sebab mereka yang membaca blog saya orang-orang yang punya standar literasi layaknya di media.
       Setiap hari saya berpacu dengan kalender yang sengaja saya tempelkan tepat pada sudut pandang depan tempat tidur. Supaya kalau saya perlu sesuatu berkaitan dengan penanggalan tidak kesulitan melihat. Diantaranya melihat hari berganti hari berikutnya tapi tidak satu pun tulisan yang melewati tangan redaktur untuk saya unggah di blog. Hingga tanpa saya sadari, hari berada di ujung bulan ini.
       Nyatalah persoalannya, saya telah menyia-nyiakan waktu dan kesempatan. Jadi kalau pertanyaan di atas tidak lagi menjadi pertanyaan, dengan diiringi doa, saya mesti pandai-pandai memanfaatkan dua hal itu.

@@@

Selasa, 17 Mei 2016

Cerpen Dewasa


RUMAH KAYU LANTAI DUA
Oleh : Iis Soekandar               
       Kakinya melangkah menaiki anak tangga satu per satu demi mengejar waktu. Seember cucian yang biasa dikerjakan dua hari sekali berselang dengan menyetrika terangkat di tangan kanannya. Entah waktu mana yang membuatnya terburu-buru karena sebenarnya tak ada sesuatau pun yang mengharuskannya segera selesai. Baik cucian itu tergerai di tali bahkan harus kering. Begitupun tak ada kegiatan lain seperti yang biasa dikerjakan, sebagaimana filosofinya, selesai pekerjaan satu lanjutkan pekerjaan lain. Tidak lain hanya ingin segera menyelesaikan. Setelah itu saatnya beristirahat siang.
       Dilembarkannya setiap potong baju di tali yang sengaja disiapkan untuk menggerai jemuran. Sedangkan baju-baju resmi tergantung di hanger. Tidak saja sebagai batas etika bagi pemandangan, dibanding menjemur di luar sebagaimana tetangganya yang tidak memiliki lahan, yang lebih penting supaya terhindar dari seseorang yang memburu dan membuatnya semakin merasa resah sekaligus bersalah.
       Rumah lantai dua semua bahan terbuat dari kayu sengaja diperuntukkan  sebagai penangkal aib jemuran. Dibangun sejak kedua orang tuanya masih hidup. Selebihnya berfungsi sebagai gudang. Barulah kemudian lantaran kebutuhan dibuat sebuah kamar sekedarnya. Meski begitu tak ada yang terganggu, karena seiring perkembangan jaman menggelar cucian tidak lagi meneteskan air. Ada mesin cuci disertai pengering membuat cucian tak lagi seratus persen membutuhkan sinar matahari. Angin yang berhembus semakin lama mengeringkan cucian itu.
       Semua telah dilembarkan. Berujung tepat di depan jendela. Pandangannya lurus ke depan, tak mungkin lepas dari luar. Dadanya langsung naik turun begitu menatap pemandangan tak asing. Seorang lelaki dengan headset menempel di kedua telinga. Segera dihindari, perasaan berdesir, pikiran miris.
       Namun meninggalkan sepenuhnya tak kuasa. Ada sesuatu yang menahan untuk segera berpaling. Begitulah setiap kejadian ini terulang. Pikirannya tetap mengarah kepada lelaki itu. Tubuhnya lunglai, mendelosor terduduk dengan kedua tangan mengapit kedua kaki. Supaya kalau dia tiba-tiba mengarah ke arah jendela tidak melihatnya. Bukankah lelaki itu berada di situ dengan pandangan persis mengarah ke jendela agar bisa melihatnya ?
       Rumahnya terletak bersebelahan dengan masjid. Kalau saja lelaki itu mau ia bisa duduk di teras masjid yang lebih luas dan nyaman. Namun menyamping  dengan rumah kayu lantai dua dan jelas tidak mengarah pada jendela. Nyatanya ia memilih di bawah pohon palem yang justru hanya sedikit diplester dan mungkin tempat duduknya terkotori dengan tanah, tempat pohon itu berpijak.
      Beruntung dia membunyikan musik tidak dari tape recorder yang bisa didengar orang lain. Mengingat di masjid, tempat kebayakan orang beribadat. Ah bukan, bukan itu masalahnya, dia tidak bakalan memerdulikan musik itu mengganggu orang lain atau tidak. Orang lain juga tidak bakalan memarahinya jika itu yang terjadi. Mereka dengan caranya yang halus akan memintanya pergi. Dia tidak merasa menjadi manusia spesial yang orang lain harus memaklumi. Namun memang begitulah yang dia tahu. Kesadarannya bermusik seiring pekembangan jaman, lebih praktis dan efisien, dengan headset di kedua telinganya. Sembari geleng-geleng, matanya terpejam, jidatnya mengerut, begitu menghayati lagu, serasa dunia ini miliknya. Teronggok dua travelbag di kanan kirinya.
       Dia bisa menebak lelaki itu selesai jalan-jalan berkeliling kota dengan berkendaraan bis. Demi menyejahterakan masyarakat, pemerintah membuat angkutan baru dengan sistem baru pula. Haltenya khusus, tidak bersamaan dengan angkutan lain. Mereka hanya diwajibkan membayar satu kali tiket namun bisa digunakan lebih dari satu tujuan asalkan belum melampaui terminal tempat angkutan itu bermuara. Sangat menguntungkan masyarakat.
       Namun berbeda tujuan dengan lelaki ber-headset yang sekarang berada di lingkungan masjid, di bawah pohon palem. Halusinasinya terus mengembara. Ia membawa sejumlah pakaian dan menempuh beberapa rute seolah pergi ke luar kota. Layaknya sebuah keluarga yang bepergian jauh tentu butuh pakaian ganti, apalagi kalau lama sampai berhari-hari. Sebagai seorang suami yang setia ia pun membawakan pakaian banyak. Beberapa rute yang harus ditempuh karena perjalanan jauh tentu membutuhkan berjam-jam berada di dalam kendaraan. Hal itu diimplementasikan dengan lama di kendaraan.
       Menurut kabar dari orang-orang yang pernah melihat sepak terjangnya, lelaki itu setelah sampai di tempat tujuan hanya duduk-duduk, terkadang berbicara sendiri, mungkin membayangkan sedang bersama orang yang dikasihi. Sesekali pula melakukan kegiatan rutinnya, apalagi kalau bukan mendengarkan musik melalui headset, kegiatan yang waktu itu orang getol mendengarkan musik tidak lagi melalui kaset yang bisa membuat bising orang sekitarnya yang kebetulan ingin ketenangan. Geleng-geleng kepala, kalau perlu, dua jari telunjuk menunjuk-nunjuk ke atas.
       Biasanya tempat yang dituju bernuansa alam. Dengan berbagai tanaman dan pemandangan terbuka, bila perlu terdapat aneka permainan anak. Banyak pengunjung yang datang. Sebuah tempat yang diidamkan bagi siapapun keluarga demi mendapatkan suasana berbeda dari kehidupan sehari-hari yang banyak dihabiskan di tempat kerja. Ataupun di dalam rumah bagi yang sehari-hari sebagai ibu rumah tangga biasa.
       Sebagai insan yang masih awal dalam berumah tangga mereka belum memikirkan kehadiran anak. Namun pergi ke tempat-tempat hiburan sebagai bentuk refreseing tetap dibutuhkan. Bukankah dengan sering-sering menghabiskan waktu di tempat rekreasi pikiran menjadi bahagia ? Dengan ketenangan batin maka menggapai tujuan hidup biasanya mudah tercapai, begitupun keinginan memiliki buah hati.
       Uang belum banyak digunakan, kebutuhan masih sebatas untuk mereka berdua. Kehadiran anak apalagi jika masih kecil seringkali menghabiskan uang banyak. Namun mereka belum dikaruniai. Pergi berdua masih menjadi prioritas. Mungkin karena bulan madu pada awal pernikahan dulu belum terealisir maka sebagai penebus selalu pergi berdua setiap kesempatan yang ada. Ke luar kota dengan menginap di hotel dan biaya banyak tidak menjadi masalah.
       Tentu tidak cukup hanya bermodal biaya. Sejumlah pakaian selama bepergian harus pula dibawa. Tidak lupa kebutuhan pribadi lain. Tak heran bila dua travelbag memenuhi kedua tangan. Tak perlu travelbag bermerek terkenal, karena tak memikirkan gengsi. Tetapi lebih kepada pemenuhan kebutuhan. Mereka orang biasa dan tinggal di rumah perkampungan. Menyempatkan pergi berlibur, apalagi dengan alasan berbulan madu, sudah menjadi kabar mewah tersendiri.
       Terlintas pembayangan, pernikahan yang tak direncanakan. Walau pernikahan adalah hal yang diidamkan setiap orang. Begitupun pasti bagi lelaki itu dan calon istrinya. Namun pasangan belum kian datang. Keluarganya mulai resah. Terlebih bagi Munaroh, calon istrinya waktu itu, bapaknya sudah tidak ada. Ibunya takut terjadi sesuatu dengan anak bungsunya. Semua saudaranya sudah berumah tangga. Maka pencarian pasangan pun segera dilakukan.
       Sekian waktu ditunggu Munaroh belum mendapatkan pendamping hidup. Diantara penantiannya, tiba-tiba telinganya memerah. Ibunya lebih dulu menemukan seseorang yang bakal menemaninya seumur hidup.   
       “Ini bukan lagi jaman Siti Nurbaya, Bu. Saya sudah dewasa. Pada waktunya saya pasti akan menemukan pasangan hidup.” Sanggah Munaroh berusaha menjelaskan.
       “Jaman moderen tidak berarti menolak perjodohan, Mun. Kalau seseorang itu sudah berada di depan mata, berarti itulah waktunya.” Ibunya tak kalah mempertahankan keyakinannya. ”Karunia tidak selalu datang dari diri sendiri. Bisa juga melalui orang lain.” tambah ibunya tentang jodoh.
       Nasi memang belum menjadi bubur, namun janji suci antara kedua belah keluarga sudah membaur. Tanpa ada dasar saling cinta pernikahan pun digelar. Semua berharap mereka berdua saling mengerti. Bukankah nenek moyang mereka, termasuk kedua orang tua mereka juga jadian begitu saja dengan pasangan masing-masing ? Hanya dengan perantantara kedua orang tua, akhirnya mereka menikah. Tanpa ada tuntutan macam-macam, apalagi cinta, mereka menjalani kehidupan ini apa adanya. Dan mereka beranak pinak hingga punya cucu, sampai maut memisahkan mereka.
       Namun Munaroh bukanlah orang jaman dulu yang pasrah begitu saja menerima keadaan. Semakin hari hatinya semakin tersiksa. Bahkan ia menolak menikmati malam pertama. Terakhir pada puncaknya ia tidak mau lagi tidur sekamar. Sang lelaki pun menyadari sikap istrinya. Pernikahan ini begitu dipaksakan.
       Lelaki itu memang tidak mempermasalahkan nasib. Sebagai seorang anak yang berbakti, ia terbiasa mengikuti semua kehendak orang tuanya. Termasuk menerima pernikahan melalui perjodohan. Ia pun memaklumi keinginan istrinya yang enggan berkumpul. Dari tidak mau lagi tinggal serumah di rumah mertua, lalu pindah di rumahnya sendiri, sampai tidak lagi bersedia sekamar.
       Namun ternyata menerima nasib tak disertai dengan keikhlasan batin. Perasaannya bergejolak. Dadanya menolak. Tapi mulutnya tak mampu memberontak. Di tempat pekerjaannya ia sering melamun. Hanya di situlah tidak terlihat keluarga ataupun istrinya. Sementara di dalam rumah ia nampak tegar.
       Akhirnya karena kerja tak becus dan seringkali membuat kesalahan, perusahaan tak mau lagi menerimanya. Ia dipindahkan di bagian `kering`, tentu dengan gaji lebih sedikit pula. Lagi-lagi ia tidak bisa tenang dan membuat kesalahan. Pikirannya sering limbung. Terkadang nampak berbicara sendiri dan sedih. Akhirnya karena tidak lagi bisa bekerja, perusahaan memecatnya.  
       Ia kembali ke rumah sendiri. Pikirannya tidak lagi waras. Sejak pernikahan istrinya sebetulnya enggan tinggal bersama. Apalagi bepergian berdua. Akhirnya ia melampiaskan segala sesuatunya dengan berhalusinasi. Pergi dengan dua travelbag menenteng kiri kanan, layaknya keluarga yang ingin pergi ke luar kota. Tidak lupa sembari mengisi waktu di perjalanan yang bisa terasa menjemukan, ia pun sibuk dengan musik melalui headset di kedua telinganya.
       Istrinya benar-benar tak lagi mau memperpanjang hubungan. Dan perpisahan menjadi sesuatu yang tak dapat dihindari. Ia tidak lagi memberi nafkah lahir maupun batin. Kedua belah keluarga baru menyadari bahwa perjodohan tak selamanya berbuah bahagia. Membina hubungan untuk sekedar saling menjajaki keduanya sebelum pernikahan sangatlah penting. Maka dengan ikhlas pun mereka berpisah baik-baik.
       Efek dari perpisahan itu Munaroh tidak tenang berada di rumahnya sendiri. Ia sering didadatangi walau tidak lagi menjadi istrinya. Semua orang memang tahu mereka tidak lagi sebagai suami istri. Namun rasa malu seringkali hinggap. Tidak hanya itu, rasa tergila-gila lelaki itu sekaligus merasa bersalah terkadang hadir. Warung kelontong menyatu dengan rumah dari orang tua yang dipercayakan kepadanya dijaga oleh pembantunya. Munaroh bagian mengelola dan menyediakan bahan-bahan.
       Apa tujuannya kalau bukan menghindari lelaki yang tidak lagi menjadi pasangannya itu. Karena kenyataan belum bisa menerimanya. Pernah suatu saat ia terlihat di warung, lelaki itu menyambanginya dan tak mau pergi. Memang tidak mengganggu, tapi apa yang masih bisa diperbuat dari hubungan yang tidak lagi tersambung. Semenjak itu ia mencari asisten untuk menunggui warung. Dan lelaki itu pun tidak pernah lagi mendatanginya.
       Kalau ingat semua itu bercampur aduk pikirannya. Lelaki itu masih geleng-geleng kepala menikmati musik melalui headset. Kedua telunjuknya mengarah ke atas menghayati lagu. Tak disangka, tiba-tiba kedua matanya mengarah ke jendela, lalu...
       “Munaroooooh....”
       Ia terperanjat, dan menyeret tubuhnya dari pintu jendela untuk segera berlalu dari rumah kayu lantai dua.
@@@SELESAI@@@
                                                                                          
  Cerpen ini telah dimuat di tabloid Nova 1473/XXIX 16 - 22 Mei 2016      

   

Sabtu, 02 April 2016

Fabel


Pengalaman Baru Muri Murai
Oleh : Iis Soekandar

       Seekor Muri Murai senantiasa berada dalam sarangnya di dahan. Kedua orangtuanya selalu mencarikan makanan untuknya. Mungkin karena ia anak tunggal. Ia amat manja.
       “Muri Murai, ayo keluar. Di sana banyak buah-buahan. Tinggal pilih mana yang kita mau,” ajak Pipit.
       “Aku sedang flu, tidak boleh terkena udara luar.” Jawab Muri Murai malas-malasan.
       “Hari ini flu, kemarin batuk, kemarin lusa pusing.” Gasak Kenari.
       “Kamu kurang berolah raga, sih,” Pancawarna menambahi.
      Muri Murai, Pipit, Kenari, dan Pancawarna, teman seumuran. Hanya Muri Murai yang tidak pernah keluar. Tetapi Pipit, Kenari, dan Pancawarna selalu bermain bersama sembari mencari makan sendiri. Terkadang pepaya, atau pisang, atau jambu, ah apa saja buah yang sudah masak, mereka santap.
       Suatu saat mereka membawakan Muri Murai buah kecil-kecil sebesar biji kelereng. Tapi bentuknya lonjong. Warnanya  hijau. Rasanya manis-segar. Selama ini kedua orangtuanya belum pernah membawakan buah semenarik itu. Ternyata buah anggur namanya. Seketika itu Muri Murai minta diantar ke pohon anggur. Di sana ia makan anggur sepuasnya.
       Benar, ternyata enak terbang sendiri. Bisa menikmati alam bebas. Menghirup udara segar. Semenjak itu Muri Murai minta disamperi setiap kali Pipit, Kenari, dan Pancawarna terbang mencari buah-buahan. Tentu saja kedua orangtuanya senang. Disamping tidak membebani mencarikan buah-buahan, Muri Murai pun tidak sakit-sakitan.
       Suatu saat seperti biasa mereka terbang berempat. Ternyata tidak ada buah yang masak. Pepaya, pisang, masih berwarna hijau. Tanpa disangka Muri Murai mencium bau harum. Diam-diam ia mendekati bau harum itu. Perutnya yang keroncongan bakal terisi. Muri Murai makan sendiri. Namun baru menikmati lezatnya buah itu sesaat, kerongkongannya sakit.
       “Aduh, tolooong,” seketika itu Muri Murai memuntahkan makanannya. Ketiga temannya kaget mendengar suaranya. Ternyata Muri Murai jauh dari mereka.
      “Wah Muri Murai dapat buah sirkaya besar dan masak.”
       “Makan jangan dengan bijinya. Terang saja kerongkonganmu sakit.”
      “Jadi...itu buah sirkaya namanya.” Kata Muri Murai bertambah satu lagi perbendaharaan buahnya. “Maafkan aku bermaksud serakah. Kurasa buah sebesar ini bisa kita santap berempat, daripada kita pulang dengan perut kosong.”
       Tidak sedikit pun mereka sakit hati. Hari itu mereka bersuka cita. Mereka pulang dengan perut terisi.
@@@
 [ karakter : pemaaf, peduli sosial, cinta damai]

Fabel ini pernah dimuat di Nusantara Bertutur, Kompas Minggu. 

Selasa, 08 Maret 2016

Cerpen Dewasa


Panggung Telah Berakhir
oleh : Iis Soekandar

       Sore menjelang. Bunyi genderang beserta alat pengiring lain khas event besar terdengar sayup-sayup. Terasa membedakan dari peringatan hari-hari besar. Ada ruh yang menyertai peristiwa setahun sekali itu. Vio terhipnotis dan mempercepat gerak. Diraihnya tas kempit tali pendek persis bawah ketiak yang sudah disiapkan. Sengaja tidak dibawa tas punggung sebagaimana aktivitas di alam terbuka. Tas kempit lebih praktis dan aman dari gerayangan tangan-tangan jahil. Dirabanya sekali lagi untuk memastikan gawai 7 inchi yang baru dibelinya beberapa hari lalu tak tertinggal. Amunisi yang sengaja direncanakan jauh-jauh hari.
       Begitu keluar gang, orang-orang yang menuju ke arak-arakan mempercepat langkah. Vio semakin bersemangat. Sebagai warga yang berdomisili satu komplek dengan awal mula terjadi arak-arakan, ia tidak mau mendapatkan tempat sebagaimana masyarakat umum. Lantaran datang terlambat kemudian terpaksa di belakang sehingga tidak jelas mengikuti serangkaian prosesi. Seharusnyalah ia berbeda dari pengunjung lain. Karena ia termasuk warga yang memiliki. Walau tidak berpartisipasi dari segi materi atau tenaga sekalipun.
     Bukan tempat VIP sebab namanya tak berbau pejabat. Bukankah panggung yang sebenarnya adalah kehadirannya yang jelas melestarikan setidaknya bagi dirinya sendiri, dibanding pejabat yang penuh dengan protokoler ? Tampak luar mereka begitu menyambut, padahal hatinya kosong dari makna tahapan demi tahapan pelestarian budaya lokal. Kendati tanpa usaha panggung kesenian telah berada di depan mata mereka. Namun berada di barisan depan sehingga tak sedikit pun moment yang terlewatkan.
       Tak membutuhkan waktu lama untuk sampai di arena. Vio sengaja tidak masuk ke pelataran masjid. Sejak ia kecil tidak ada pemugaran berarti kecuali dicat sebagai penyegaran. Masjid beserta lingkungannya sengaja dilestarikan sebagai tempat cagar budaya. Hanya menuju pintu depan dipasang tenda sebagai tempat persiapan sebagaimana setiap peringatan hari besar agama. Apalagi pada waktunya tidak boleh seorang pun menginjak kecuali para pelakon yang bakal maramaikan panggung.
       Dari kejauhan masyarakat nampak sudah berjejal di depan masjid, tempat puncak prosesi berlangsung. Vio langsung menyusuri jalanan menuju ke sana diantara orang-orang yang sibuk mempercepat langkah. Untuk kesekian kali ia meraba tas kempit. Permukaan depan masih timbul seukuran gawainya.
       Melalui jeruji pagar masjid yang dilewati, tak disengaja pandangannya terasa lain sehingga membuat perhatiannya terpecah. Seseorang seperti yang ia kenal, terduduk di lantai serambi masjid. Vio tak percaya dan menoleh sekilas sekali lagi demi memastikan. Tidak salah dugaannya. Hatinya semakin menciut. Lagi-lagi dirabanya tas kempit antara lengan dan ketiaknya. Masih menonjol benda canggih 7 inchi. Lengannya merapat. 
       Pandangannya beralih. Kehadirannya sungguh mengacaukan pikirannya. Wajahnya terus membayang-bayangi. Segera mencari tempat dekat panggung,  tempat segala prosesi berlangsung. Posisinya menyiku, antara panggung dan jalanan tempat arak-arakan sedang berjalan. Kemeriahan serangkaian suara alat perkusi terus mengalun. Vio segera memvideo dalam kamera gawainya. Dari balik lubang kamera sempat juga terekam orang-orang terus berjejal berusaha mengambil tempat strategis. Tapi anak-anak tak terkalahkan. Mereka tetap berdiri paling depan dengan postur tubuhnya yang masih pendek. Atraksi laskar berkuda, drumband, gamelan, tidak kalah para penari tradisonal memamerkan kelebihannya masing-masing. 
       Diantara kesibukannya merekam, sesekali pikirannya menyelinap. Benda canggih yang sedang digenggamnya itu dibeli dari mendapat arisan kantor. Vio lebih suka membeli sesuatu karena kebutuhan. Bukan karena latah. Ponsel yang dipunya sebelumnya jadul, sekedar bisa buat menelepon dan sms. Jadi uang arisan yang tidak seberapa karena lebih bersifat kumpul-kumpul dibanding arisan pada umumnya, ia belikan gawai bersamaan dengan moment setahun sekali yang meski merasa memiliki namun sekalipun belum pernah mengabadikan prosesi dari awal hingga akhir.
       Vio seperti terlahir kembali. Masa kecil awal belajar menahan haus dan lapar sehari. Menjelang berbuka adalah saat yang ditunggu. Vio dan sejumlah anak di lingkungan sekitar menuggui meriam dibunyikan sebagai tanda berbuka puasa. Mereka duduk berjejer di lantai berundak menuju ke serambi. Begitu meriam mengeluarkan gemericik kembang api di angkasa lalu diiringi bunyi der, berlarianlah Vio dan anak-anak lain menuju ke rumah masing-masing. Minuman mengandung es selalu menjadi santapan pertama. Terbebas sudah ujian satu hari. Untuk kemudian dilanjutkan perjuangan hari berikutnya, begitu hingga berjumlah dua puluh sembilan atau tiga puluh hari.
       Mendadak lubang kameranya terhalang. Lelaki perlente, putih, perawakan macho, tinggi besar, sedang mamanggul tempat lempitan berbahan kayu untuk memajang. Satu kali Vio melihat dia menjajakan dagangannya. Selanjutnya selalu begitu, menjual barang yang sedang ngetren. Untuk kali ini berjualan akik yang ditaruh di tempat memajang cincin. Tidak lupa selalu mencari pusat-pusat keramaian demi melarisi.
       Bagaimana mungkin Vio lupa dengan panggung yang dia pertontonkan. Peran sebagai pedagang ia mainkan sangat elok. Suatu malam yang telah larut, Vio pulang berlibur dari rumah temannya. Ia melewati pasar malam namun pengunjung mulai sepi. Vio melihat ia menutup dagangannya. Tidak lama kemudian seorang wanita setengah baya dengan dandanan menor lengkap asesoris ala selebritis menggandengnya. Mereka tenggelam dalam kemesraan malam yang dingin. Begitu ia akan berganti wanita sesuai bayaran yang diterima. Sebuah permainan rapi dan hanya orang-orang tertentu yang mengetahui.
       Ketika Vio hampir mengalihkan kameranya, melintas seseorang yang tadi berada di serambi masjid. Sesaat ia kehilangan. Ia menelusup diantara kerumunan orang-orang yang juga selalu ingin tetap berada di depan. Vio berharap dia tidak menemukan kebaradaannya. Nyaris terlupa, hatinya bergejolak saat tak ditemukan permukaan menonjol dari tasnya padahal benda itu tergenggam di tangannya.  
       Masih dalam keramaian alat musik perkusi, pembawa acara dengan lantang mengumumkan Kanjeng Adipati segera tiba. Manyarakat semakin antusias. Suara gamelan semakin terdengar benderang. Para penabuh dengan pakaian beskap lengkap blangkon di kepala menabuh penuh penghayatan.
       Tidak lama penunggang kuda menyisir jalan, meminta masyarakat memberi jalan lebih lebar bagi sang pemimpin. Disusul pembawa bunga Manggar mengawal Kanjeng Adipati beserta istri. Kanjeng Adipati sebagai manefestasi terwakili oleh seseorang yang sedang memimpin, dalam hal ini walikota. Di belakang, tak tertinggal para pemimpin instansi pemerintah beserta pasangannya.
       Kanjeng Adipati berdiri di panggung sekaligus mengumumkan kepada masyarakat akan dimulainya puasa Romadhon. Tradisi dugderan sebagai tanda mengawalinya. Di sisi kanan panggung warak ngendhok sebagai ikon dugderan berukuran hingga menyamai tinggi panggung berdiri dengan gagah. Replika itu sekaligus simbol dari kota Semarang yang terbuka dengan keberagaman. Kepala seperti naga simbol dari etnik Cina, berkaki empat sebagai lambang kambing identik dengan orang Jawa, leher tegap sebagai simbol onta identik dengan orang Arab. Begitu cerita yang pernah Vio dengar dari guru SD-nya.  
       “Puasa tidak hanya menahan lapar dan dahaga, tetapi lebih jauh menghindari perbuatan mungkar maka diciptakanlah binatang warak.“ lalu Kanjeng Adipati mulai menjelaskan filosofi warak ngendog. “Jika selama bulan Romadhon bisa menjaga kesucian perbuatan, maka hadiahnya adalah endhog (telur). Maka digabunglah menjadi warak ngendhog.”
       Selesai Kanjeng Adipati memberikan wejangan, beliau turun dari panggung kemudian menuju ke palataran masjid. Saatnya dibunyikan bedug, dug, disusul bunyi meriam yang telah disiapkan, der. Begitulah asal mula tradisi dugderan.
      Prosesi terakhir adalah pembagian kue ganjeril. Dari asal kata ganjel dan rel, mengandung filosofi agar menjalani puasa Romadhon penuh keikhlasan tanpa ganjalan apapun. Kue berwarna coklat terbuat dari tepung gandum dengan toping wijen diiris persegi ukuran 3 kali 3 cm dimasukkan dalam plastik bening demi keamanannya dari polusi. Masyarakat berdesak-desakan maju ke panggung khawatir tidak kebagian meski suara dari mikrofon terus mengumandangkan supaya mereka tertib. Tersedia cukup banyak kue ganjeril untuk semua masyarakat kota Semarang.
       Vio berhasil meraihnya sebuah demi mendapat keberuntungan. Dia menyingkir, keluar dari kerumunan orang-orang yang membaur antara yang belum mendapatkan dengan yang kembali berharap entah untuk yang keberapa. Semua terus bersemangat ingin mendapatkan kue ganjeril.
       “Vio?” Sejenak raut mukanya sumringah begitu benar teman sekantornya. Hampir kue ganjeril Vio terjatuh.
       “Mbak, jadi Mbak juga mengikuti dugderan ?” Vio tak kalah pura-pura girang, nyaris terlupa, dia sedang punya hasrat menghindarinya.
       “Gadget baru ya. Duh yang barusan dapat arisan...” gasaknya selalu akrab.
       “Ponselku yang dulu hilang, kayaknya ketika aku berada di jalan.”
       “Lagi pula sudah jamannya androit. Kalau tidak bagaimana kamu bisa mengabadikan moment yang hanya terjadi setahun sekali ini. Kalau bukan kita yang melestarikan budaya ini lalu siapa ?”
      Dia kemudian mengambi alih gawai Vio. Dia manggut-manggut, seolah untuk memastikan bahwa temannya tidak salah memilih gawai. Maklum, selama ini Vio lebih senang yang simpel dengan ponsel jadul, cukup untuk bertelepon dan sms. Namun pada akhirnya ia membutuhkan teknologi canggih itu. Dia tak perlu susah mencari CD rekaman peristiwa penting karena dicari pun belum tentu ada. Ia bisa mengabadikannya sendiri menurut selera.
       Setelah membuka gambar kotak menu, ia membuka setiap aplikasi yang tertera di sana yang sampai sejauh ini Vio belum paham betul, kecuali menggunakan kamera, dan tentu kegiatan yang selama ini amat vital diperlukan, sms serta telepon.
        Tak mungkin terlepas dari benaknya peran berani yang dilakonkan. Setiap orang membicarakannya. Bagaimana dia menggunakan uang kantor tanpa henti. Meminjam koperasi menjadi kegiatan rutin berdalih sebagai hak pegawai. Mungkin karena ibu-ibu sudah hafal dengan gelagatnya, mereka menjadi korban hanya satu kali. Namun bagi lelaki yang terbuai kecantikannya menjadi bulan-bulanannya. Soal pembayaran, ia memasrahkan begitu saja kepada bendahara. Kemudian orang-orang itu meminta uang yang menjadi haknya tanpa lagi meminta persetujuannya. Tak heran setiap bulan nyaris ia tak terima gaji kecuali hanya tersisa seidkit.
       Semua berdalih ewuh perkewuh karena dengan teman sendiri. Meski di balik semua itu mereka terus bergunjing, untuk apa dia selalu meminjam uang. Pakaiannya jelas terprogram dari kantor dari Senin hingga Jumat. Hari Sabtu pun pakaian bebasanya biasa saja. Bahkan terkesan membosankan. Asesoris tak pernah menyertai kecuali giwang bermata satu. Jauh dari kesan glamour.
       Kalau toh selama ini suaminya terdengar jarang pulang  ke rumah, setidaknya dengan gaji pribadi dia bisa menghidupi dirinya sendiri tanpa meminjam sana sini. Anak juga dia belum memiliki.
       “Mentang-mentang habis dapat arisan.”
       Vio menanggapi dengan senyum. Dadanya semakin bergemuruh. Bagaimana kalau dia langsung mengungkapkan kebiasaan buruknya dengan mengeluarkan jurus-jurus omongannya yang berbisa. Berbisa karena selalu mematikan bagi siapapun lawannya. Tak segan ia akan menggadaikan gawai Vio jika dia menjawab uang arisan telah habis untuk membeli gawai itu sementara dia menginginkan. Padahal Vio harus mengurangi gajinya bulan depan supaya bisa membeli powerbank agar ketika dia bepergian jauh tidak kebingungan karena batery habis.
       Tiba-tiba ketika sejuta pertanyaan berputar-putar dalam pikirannya, perhatian Vio terbelah oleh panggilan dari dalam sakunya. Ia pun menyerahkan gawai Vio. Sesaat kemudian, lagi-lagi kata-katanya membuatnya tercengang.
       “Lihat sms ini,” pintanya menyodorkan gawainya.
       Kata-kata yang tertera dari salah satu temannya yang mengurus koperasi. Dia bilang kalau semua THR, laba koperasi, dan SHU telah habis untuk melunasi hutangnya. Ada tersisa sedikit.
       “Uang yang tersisa sedikit itu untukmu membeli powerbank, biar tidak bingung kalau lagi keluar kota.”
       Vio memandang terheran. Dia seperti bisa menebak pikirannya. Pasti bendahara yang telah bercerita.
       “Aku sudah resign.”
       “Mbak...”
       “Anggap saja powerbank itu kenang-kenangan dariku.”
       Vio tercengang untuk kesekian kali atas keberanian yang ditunjukkan. Untuk kedua kali beraktivitas lagi gawainya. Tidak lama kemudian dia berpamitan. Pandangan Vio mengikuti langkahnya. Vio baru mengerti alasan sepak terjangnya selama ini ketika seorang pedagang akik yang dikenalnya menggandengnya mesra.
       Sementara petugas yang membagikan kue ganjeril selesai menunaikan kewajibannya. Mayarakat mulai sepi. Panggung telah berakhir.
@@@

Cerpen ini pernah saya ikut sertakan dalam lomba menulis cerpen Femina 2015

Sabtu, 27 Februari 2016

Curahan Hati Iis

Ikhlas

       Pagi ini saya membaca berita yang tidak menyenangkan. Seperti biasa saya menerima media cetak dari tukang loper langganan. Begitu mencari salah satu kolom favorit saya, saya justru sedih. Mulanya saya bahagia karena ada dua judul yang ditampilkan. Padahal biasanya hanya satu judul. Saya beranggapan kolom itu banyak peminatnya sehingga menamambah pula lahan bagi penulis. Tapi ketika saya akan memulai membaca, saya melihat keterangan terlebih dahulu pada tulisan paling atas. Apa yang saya dapatkan ? Kolom itu ditutup mulai minggu depan dan seterusnya. Sebagai salam perpisahan, redaktur menampilkan dua  judul atau dua tulisan.
       Mengapa saya sedih? Bukankah masih ada lahan lain selain menulis di kolom yang menjadi langganan bacaan saya itu? Jujur saya tidak punya banyak waktu membuat cerita-cerita pendek. Tahun ini saya memvokuskan membuat buku. Entah berupa kumpulan cerpen atau novel. Seharusnya saya mengikhlaskan kolom itu ditutup dan tidak merasakan dada ini seperti ditusuk-tusuk. Masih ada media-media lain yang saya kirimi cerita saya. Alhamdulillah, setelah selama hampir dua bulan kumpulan cerpen saya siap saya kirim ke media sembari berprasangka baik agar bisa diterima kemudian diterbitkan. Mudah-mudahan rencana membuat novel juga terlaksana.    

Minggu, 31 Januari 2016

Curahan Hati Iis


Tahu Diri
       Setiap kali saya melihat pengumuman lomba menulis selalu ada perasaan kecewa. Mengapa saya tidak bisa seperti mereka. Memenangkan lomba, mendapatkan popularitas, penghargaan, dan tentu juga uang. Apalagi kalau membaca nama orang itu-itu lagi yang menjadi pemenang. Dada saya naik turun dengan cepat, pikiran panik, buyar semua rencana, semua itu bercampur menjadi satu.
       Barulah ketika tadi siang ada seorang pengemis datang ke rumah saya, saya jadi terhentak sekaligus tersadar pada diri sendiri. Sebetulnya dia kurang layak dianggap pengemis. Bajunya tidak kumuh. Bahkan saya kira teman ibu saya yang akan bertamu. Ternyata dia meminta uang. Keponakan saya yang saya suruh memberi karena kebetulan siang itu saya sedang makan. Namun apa yang dia katakan ketika uang lima ratus rupiah diberikan sebagaimana pengemis pada umumnya? Ditolaknya mentah-mentah. Dia berani memberi tarip lima ratus kali tiga.
       Sontak saya yang mendengar naik pitam. Keponakan saya pun tak kalah marah-marah. Kami sepakat menanggapi satu ide, mestinya kalau tidak mau diberi sekedarnya, bekerjalah, jangan meminta-minta.
       Sesaat setelah itu saya merenung. Selayaknya saya juga tahu diri seperti dia. Saya belum layak menjadi pemenang. Jadi jangan dulu berharap menjadi pemenang. Bahkan mengurus blog saya masih keteteran. Mengisinya dengan satu tulisan sebulan sekali hingga deadline tanggal 31 baru terlaksana.
       Tuhan Mahabenar. Begitupun dalam memberikan nasib kepada hamba-Nya yang kurang tahu diri ini. Inilah kenyataan yang terbaik bagi diri saya saat ini. Saya mesti mensukuri yang telah saya terima. Sambil terus menulis dan menulis. Setiap segala sesuatu ada masanya. Saya sudah terlanjur basah. Saya akan terus menyelam menggali ide-ide yang Tuhan berikan hingga menjadi tulisan-tulisan yang bermanfaat bagi orang lain. Seperti yang sedang saya kerjakan sekarang, menulis kumcer (kumpulan cerpen), diantara menulis tulisan-tulisan lepas dan kegiatan lain. Dengan tahu diri hidup menjadi tenang. karena ternyata banyak hal yang bisa saya kerjakan. 
        
       

Kamis, 03 Desember 2015

Resensi : Buku Ini Tidak Dijual


Kesederhanaan Pada Era Modern





Judul novel                : Buku Ini Tidak Dijual
Penulis                      : Henny Alifah
Penyunting bahasa  : Mastris Radyamas
Penerbit                    : Indiva
Ketebalan                 : 192 halaman
Ukuran                       : 20 cm
ISBN                          : 978-602-1614-48-8
Cetakan I                  :  Jumadil Awal 1436 H / Maret 2015
Harga                        : Rp 46.000,00

       Hidup pada era modern tidak harus mengesampingkan kesederhanaan, apa adanya, dan menerima keadaan. Tergambar secara eksplisit dari judulnya, “Buku Ini Tidak Dijual”. Itulah yang terkesan setelah membaca novel ini.  
       Sesederhana judulnya yang tidak perlu berpikir panjang untuk menerjemahkan maknanya, isinya hanya mengangkat satu persoalan, “tidak menjual buku”, dalam hal ini yang menjadi harta berharga dalam hidup tokohnya. Tidak ada sisipan  persoalan-persoalan lain sebagaimana cerita fiksi panjang seperti novel-novel pada umumnya. Setting yang diambil didominasi daerah perkampungan atau pedesaan dengan latar khas, banyak pepohonan, budaya rasa peduli antarwarga, dan penggunaan bahasa daerah yang kental. Ditunjang dengan pergantian tiap bab tanpa diberi judul bab melainkan diungkapkan melalui urutan angka : satu, dua, tiga, dan seterusnya hingga selesai. Sebab tidak ada kejadian lain yang perlu diangkat dalam cerita sehingga harus membuat judul bab dengan kata-kata atau kalimat, kecuali hanya mengejar satu target, “tidak menjual buku”.
       Bercerita tentang tokoh Padi yang bekerja di ibukota. Kecintaan Padi pada buku terlihat ketika di kereta yang penuh sesak oleh penumpang. Orang umum barangkali merasa kurang nyaman membaca di angkutan umum, terlebih dengan penumpang penuh, entah alasan pusing atau berdesakan dengan penumpang lain. Tapi Padi tetap melakukannya. Mengingat Jakarta diburu pendatang dari berbagai penjuru Indonesia untuk berbagai kepentingan. Tidak heran mereka memadati pula angkutan umum seperti kereta. Bahkan ketika penumpang seorang wanita hamil yang diberinya tempat duduk menyatakan keherannya, ia berdalih bahwa kegemarannya membaca dilandasi wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Hal itu jelas terkandung makna bahwa dengan membaca orang menjadi pintar.
       Setahun sekali Padi pulang ke kampung halaman untuk bertemu ayahnya, sekaligus Gading, anaknya semata wayang yang sudah mahasiswa. Sesuatu yang tidak disangka adalah lenyapnya aset paling berharga dalam hidupnya, melebihi rasa sayangnya kepada dua orang yang masih hidup karena istrinya telah meninggal. Dan kelak menjelang akhir cerita diketahui almarhumah istrinya juga mendukung kecintaannya pada buku. Terlihat pada setiap halaman buku pada akhir cerita terpampang foto-fotonya. Pada saat pulang ke kampung itulah terjadi malapetaka.
       Di perjalanan menuju ke rumah, ia melihat sebuah mobil terbuka mengangkut lima karung buku keluar dari halaman rumahnya. Ternyata ia mengetahui bahwa buku-buku itu adalah miliknya yang dikoleksi dari SD. Betapa ia marah. Perang dingin pun terjadi di rumah antara Padi dengan ayahnya. Gading, anaknya, ikut dituduh mendukung penjualan buku-buku itu karena tidak menghentikan niat kakeknya, tetapi justru ikut meringkasi dan memasukkannya ke dalam karung. Gading mengerti perasaan ayahnya. Ia bisa bayangkan bagaimana perasaannya seandainya barang koleksinya dijual. Maka dengan berdalih tidak ingin gitar koleksinya juga ikut raib dijual ia pun bertekat mengembalikan buku-buku itu.
       Petualangan pun dimulai. Gading tidak sendirian. Ia menemui sepupunya, Kingkin yang tempat tinggalnya masih satu desa. Dengan kerelaan hati Kingkin pun bersedia menelusuri keberadaan buku-buku itu agar kembali ke tangan ayah Gading. Keduanya kemudian memulai mencari alamat pengepul yang membeli buku-buku itu. Mereka berharap buku-buku itu belum jatuh ke orang lain karena waktu menjualnya tidak lama.
       Ternyata buku itu sudah diserahkan Doni, anak Pak Mersudi, pengepul yang membeli buku-buku itu kepada lembaga pendidikan atau sekolah atau pondok untuk pembelajaran. Setelah melalui lobi dan perundingan yang tidak mudah dengan pihak-pihak yang merasa sudah memiliki, akhirnya buku-buku itu bisa kembali. Walau harus menebus dengan uang terlebih dahulu, waktu sehari semalam terasa begitu lambat mengingat proses pengembalian buku tidak semudah membeli buku pada umumnya. Bahkan Gading nyaris kehilangan nyawa saat di jalan bertabrakan dengan truk. Beruntung ia terlempar sehingga hanya lecet dan memar pada tubuhnya. Sementara kendaraannya ringsek.
       Persoalan tidak berhenti sampai di situ. Karena petualangan berjalan demikian berliku, tengah malam mereka masih di perjalanan. Petualangan bertambah seru ketika di tengah jalan bertemu dengan perampok. Mereka meminta uang. Gading menolak karena uang sudah habis untuk menebus buku-buku. Tapi naas, tidak ada uang, buku pun jadi. Bukankah buku bila diloakkan pada akhirnya mendatangankan uang ? Gading tambah naik pitam. Meski cedera pada kaki belum sembuh akibat terlempar dari kendaraan yang nyaris menghilangkan nyawanya, pertarungan itu berhasil dimenangkan Gading. Gading tidak sendirian, dalam proses perjalanan mengembalikan buku ada orang lain yang membantu. Akhirnya buku itu berhasil dibawa pulang.
       Novel ini nyaris sempurna jika penulis tidak memaksakan kejadian kebetulan. Kebetulan bahwa wanita hamil yang diberi tempat duduk Padi di kereta menjelang kepulangannya ke kampung ternyata anak pengurus MI, semacam sekolah SD Islam, yang membeli buku-bukunya sebanyak dua karung. Begitupun pertemuan Doni, anak Pak Mersudi, pengepul yang membeli buku dan belum pernah ditemui oleh Gading kecuali mendengar suaranya melalui telepon. Ketika terjadi kecelakaan dan nyaris menghilangkan nyawanya, diantara kerumumanan orang yang melihat ada pemuda berperawakan kurus. Ketika Gading tersadar dan berteriak buku-bukunya dalam karung terbengkelai di painggir jalan, pemuda itu menoleh. Ada yang mengusik hatinya. Tiga karung buku itu semula dibawanya dari ayahnya yang pengepul. Yah dialah Doni, anak Pak Mersudi. Kemudian Gading dan Doni bekerja sama memulangkan buku itu kepada Padi. Dunia pun terasa sempit hanya berputar dari para pelakon yang terlibat cerita.
       Mengangkat tema pentingnya buku di tengah era digital, dengan penggunaan internet begitu merajai, justru menjadi kelebihan. Secara eksplisit cerita ini mengingatkan kepada pembaca bahwa buku tidak lekang oleh waktu. Hingga berpuluh-puluh tahun dan lintas beberapa generasi, buku akan tetap utuh. Bayangkan bila menggunakan buku elektronik yang kini marak menjadi trend.  Berapa kali berganti gadget atau gawai. Itupun masih belum ada jaminan buku elektronik tetap utuh. Sebab benda elektronik tentu sangat rawan. Misalnya terkena virus. Belum lagi membutuhkan perawatan ekstra. Terjatuh akan rusak. Sementara buku terjatuh beberapa kali tetap utuh. Harga satu gawai bisa untuk membeli berpuluh buku. Disamping itu buku ramah pandangan. Buku hanya membutuhkan jarak pandang normal agar mata tetap sehat. Tapi gawai membawa radiasi mata.
       Dari segi bahasa novel ini mudah dipahami. Bahkan oleh orang awam sekalipun. Bahasa yang digunakan adalah bahasa dalam pergaulan sehari-hari. Kalaupun ada bahasa daerah dalam hal ini bahasa Jawa, mudah dicari terjemahannya karena kata kunci terletak dalam catatan kaki. Bukan diletakkan di halaman buku bagian belakang. 
       Sebagai bacaan pada waktu senggang novel ini cukup menghibur. Disamping membuat pembaca tersadar bahwa teknolgi tidak selamanya membawa kebaikan bagi penggunanya.
@@@