Panggung Telah Berakhir
oleh
: Iis Soekandar
Sore menjelang. Bunyi genderang beserta
alat pengiring lain khas event besar terdengar
sayup-sayup. Terasa membedakan dari peringatan hari-hari besar. Ada ruh yang
menyertai peristiwa setahun sekali itu. Vio terhipnotis dan mempercepat gerak.
Diraihnya tas kempit tali pendek persis bawah ketiak yang sudah disiapkan. Sengaja
tidak dibawa tas punggung sebagaimana aktivitas di alam terbuka. Tas kempit
lebih praktis dan aman dari gerayangan tangan-tangan jahil. Dirabanya sekali
lagi untuk memastikan gawai 7 inchi yang baru dibelinya beberapa hari lalu tak
tertinggal. Amunisi yang sengaja direncanakan jauh-jauh hari.
Begitu keluar gang, orang-orang yang
menuju ke arak-arakan mempercepat langkah. Vio semakin bersemangat. Sebagai
warga yang berdomisili satu komplek dengan awal mula terjadi arak-arakan, ia
tidak mau mendapatkan tempat sebagaimana masyarakat umum. Lantaran datang
terlambat kemudian terpaksa di belakang sehingga tidak jelas mengikuti
serangkaian prosesi. Seharusnyalah ia berbeda dari pengunjung lain. Karena ia
termasuk warga yang memiliki. Walau tidak berpartisipasi dari segi materi atau
tenaga sekalipun.
Bukan tempat VIP sebab namanya tak berbau
pejabat. Bukankah panggung yang sebenarnya adalah kehadirannya yang jelas
melestarikan setidaknya bagi dirinya sendiri, dibanding pejabat yang penuh
dengan protokoler ? Tampak luar mereka begitu menyambut, padahal hatinya kosong
dari makna tahapan demi tahapan pelestarian budaya lokal. Kendati tanpa usaha panggung
kesenian telah berada di depan mata mereka. Namun berada di barisan depan
sehingga tak sedikit pun moment yang terlewatkan.
Tak membutuhkan waktu lama untuk sampai
di arena. Vio sengaja tidak masuk ke pelataran masjid. Sejak ia kecil tidak ada
pemugaran berarti kecuali dicat sebagai penyegaran. Masjid beserta
lingkungannya sengaja dilestarikan sebagai tempat cagar budaya. Hanya menuju
pintu depan dipasang tenda sebagai tempat persiapan sebagaimana setiap peringatan
hari besar agama. Apalagi pada waktunya tidak boleh seorang pun menginjak
kecuali para pelakon yang bakal maramaikan panggung.
Dari kejauhan masyarakat nampak sudah
berjejal di depan masjid, tempat puncak prosesi berlangsung. Vio langsung
menyusuri jalanan menuju ke sana diantara orang-orang yang sibuk mempercepat
langkah. Untuk kesekian kali ia meraba tas kempit. Permukaan depan masih timbul
seukuran gawainya.
Melalui jeruji pagar masjid yang
dilewati, tak disengaja pandangannya terasa lain sehingga membuat perhatiannya
terpecah. Seseorang seperti yang ia kenal, terduduk di lantai serambi masjid.
Vio tak percaya dan menoleh sekilas sekali lagi demi memastikan. Tidak salah
dugaannya. Hatinya semakin menciut. Lagi-lagi dirabanya tas kempit antara
lengan dan ketiaknya. Masih menonjol benda canggih 7 inchi. Lengannya
merapat.
Pandangannya beralih. Kehadirannya sungguh
mengacaukan pikirannya. Wajahnya terus membayang-bayangi. Segera mencari tempat
dekat panggung, tempat segala prosesi
berlangsung. Posisinya menyiku, antara panggung dan jalanan tempat arak-arakan sedang
berjalan. Kemeriahan serangkaian suara alat perkusi terus mengalun. Vio segera
memvideo dalam kamera gawainya. Dari balik lubang kamera sempat juga terekam
orang-orang terus berjejal berusaha mengambil tempat strategis. Tapi anak-anak
tak terkalahkan. Mereka tetap berdiri paling depan dengan postur tubuhnya yang
masih pendek. Atraksi laskar berkuda, drumband, gamelan, tidak kalah para
penari tradisonal memamerkan kelebihannya masing-masing.
Diantara kesibukannya merekam, sesekali
pikirannya menyelinap. Benda canggih yang sedang digenggamnya itu dibeli dari mendapat
arisan kantor. Vio lebih suka membeli sesuatu karena kebutuhan. Bukan karena latah. Ponsel yang dipunya sebelumnya jadul, sekedar
bisa buat menelepon dan sms. Jadi uang arisan yang tidak seberapa karena lebih
bersifat kumpul-kumpul dibanding arisan pada umumnya, ia belikan gawai
bersamaan dengan moment setahun sekali yang meski merasa memiliki namun
sekalipun belum pernah mengabadikan prosesi dari awal hingga akhir.
Vio seperti terlahir kembali. Masa kecil
awal belajar menahan haus dan lapar sehari. Menjelang berbuka adalah saat yang
ditunggu. Vio dan sejumlah anak di lingkungan sekitar menuggui meriam
dibunyikan sebagai tanda berbuka puasa. Mereka duduk berjejer di lantai
berundak menuju ke serambi. Begitu meriam mengeluarkan gemericik kembang api di
angkasa lalu diiringi bunyi der, berlarianlah Vio dan anak-anak lain menuju ke
rumah masing-masing. Minuman mengandung es selalu menjadi santapan pertama. Terbebas
sudah ujian satu hari. Untuk kemudian dilanjutkan perjuangan hari berikutnya,
begitu hingga berjumlah dua puluh sembilan atau tiga puluh hari.
Mendadak lubang kameranya terhalang.
Lelaki perlente, putih, perawakan macho, tinggi besar, sedang mamanggul tempat
lempitan berbahan kayu untuk memajang. Satu kali Vio melihat dia menjajakan dagangannya.
Selanjutnya selalu begitu, menjual barang yang sedang ngetren. Untuk kali ini
berjualan akik yang ditaruh di tempat memajang cincin. Tidak lupa selalu mencari
pusat-pusat keramaian demi melarisi.
Bagaimana mungkin Vio lupa dengan
panggung yang dia pertontonkan. Peran sebagai pedagang ia mainkan sangat elok.
Suatu malam yang telah larut, Vio pulang berlibur dari rumah temannya. Ia
melewati pasar malam namun pengunjung mulai sepi. Vio melihat ia menutup dagangannya.
Tidak lama kemudian seorang wanita setengah baya dengan dandanan menor lengkap
asesoris ala selebritis menggandengnya. Mereka tenggelam dalam kemesraan malam
yang dingin. Begitu ia akan berganti wanita sesuai bayaran yang diterima.
Sebuah permainan rapi dan hanya orang-orang tertentu yang mengetahui.
Ketika Vio hampir mengalihkan kameranya,
melintas seseorang yang tadi berada di serambi masjid. Sesaat ia kehilangan. Ia
menelusup diantara kerumunan orang-orang yang juga selalu ingin tetap berada di
depan. Vio berharap dia tidak menemukan kebaradaannya. Nyaris terlupa, hatinya
bergejolak saat tak ditemukan permukaan menonjol dari tasnya padahal benda itu
tergenggam di tangannya.
Masih dalam keramaian alat musik
perkusi, pembawa acara dengan lantang mengumumkan Kanjeng Adipati segera tiba. Manyarakat
semakin antusias. Suara gamelan semakin terdengar benderang. Para penabuh dengan
pakaian beskap lengkap blangkon di kepala menabuh penuh penghayatan.
Tidak lama penunggang kuda menyisir
jalan, meminta masyarakat memberi jalan lebih lebar bagi sang pemimpin. Disusul
pembawa bunga Manggar mengawal Kanjeng Adipati beserta istri. Kanjeng Adipati
sebagai manefestasi terwakili oleh seseorang yang sedang memimpin, dalam hal
ini walikota. Di belakang, tak tertinggal para pemimpin instansi pemerintah
beserta pasangannya.
Kanjeng Adipati berdiri di panggung
sekaligus mengumumkan kepada masyarakat akan dimulainya puasa Romadhon. Tradisi
dugderan sebagai tanda mengawalinya. Di sisi kanan panggung warak ngendhok sebagai ikon dugderan
berukuran hingga menyamai tinggi panggung berdiri dengan gagah. Replika itu sekaligus
simbol dari kota Semarang yang terbuka dengan keberagaman. Kepala seperti naga
simbol dari etnik Cina, berkaki empat sebagai lambang kambing identik dengan
orang Jawa, leher tegap sebagai simbol onta identik dengan orang Arab. Begitu cerita
yang pernah Vio dengar dari guru SD-nya.
“Puasa tidak hanya menahan lapar dan
dahaga, tetapi lebih jauh menghindari perbuatan mungkar maka diciptakanlah binatang
warak.“ lalu Kanjeng Adipati mulai menjelaskan filosofi warak ngendog. “Jika selama bulan Romadhon bisa menjaga kesucian
perbuatan, maka hadiahnya adalah endhog
(telur). Maka digabunglah menjadi warak
ngendhog.”
Selesai Kanjeng Adipati memberikan
wejangan, beliau turun dari panggung kemudian menuju ke palataran masjid.
Saatnya dibunyikan bedug, dug,
disusul bunyi meriam yang telah disiapkan, der.
Begitulah asal mula tradisi dugderan.
Prosesi terakhir adalah pembagian kue ganjeril.
Dari asal kata ganjel dan rel, mengandung filosofi agar menjalani puasa
Romadhon penuh keikhlasan tanpa ganjalan apapun. Kue berwarna coklat terbuat
dari tepung gandum dengan toping wijen diiris persegi ukuran 3 kali 3 cm dimasukkan
dalam plastik bening demi keamanannya dari polusi. Masyarakat berdesak-desakan
maju ke panggung khawatir tidak kebagian meski suara dari mikrofon terus
mengumandangkan supaya mereka tertib. Tersedia cukup banyak kue ganjeril untuk
semua masyarakat kota Semarang.
Vio berhasil meraihnya sebuah demi mendapat
keberuntungan. Dia menyingkir, keluar dari kerumunan orang-orang yang membaur
antara yang belum mendapatkan dengan yang kembali berharap entah untuk yang
keberapa. Semua terus bersemangat ingin mendapatkan kue ganjeril.
“Vio?” Sejenak raut mukanya sumringah
begitu benar teman sekantornya. Hampir kue ganjeril Vio terjatuh.
“Mbak, jadi Mbak juga mengikuti dugderan
?” Vio tak kalah pura-pura girang, nyaris terlupa, dia sedang punya hasrat
menghindarinya.
“Gadget baru ya. Duh yang barusan dapat
arisan...” gasaknya selalu akrab.
“Ponselku yang dulu hilang, kayaknya
ketika aku berada di jalan.”
“Lagi pula sudah jamannya androit. Kalau
tidak bagaimana kamu bisa mengabadikan moment yang hanya terjadi setahun sekali
ini. Kalau bukan kita yang melestarikan budaya ini lalu siapa ?”
Dia
kemudian mengambi alih gawai Vio. Dia manggut-manggut, seolah untuk memastikan
bahwa temannya tidak salah memilih gawai. Maklum, selama ini Vio lebih senang
yang simpel dengan ponsel jadul, cukup untuk bertelepon dan sms. Namun pada
akhirnya ia membutuhkan teknologi canggih itu. Dia tak perlu susah mencari CD
rekaman peristiwa penting karena dicari pun belum tentu ada. Ia bisa
mengabadikannya sendiri menurut selera.
Setelah membuka gambar kotak menu, ia
membuka setiap aplikasi yang tertera di sana yang sampai sejauh ini Vio belum
paham betul, kecuali menggunakan kamera, dan tentu kegiatan yang selama ini
amat vital diperlukan, sms serta telepon.
Tak mungkin terlepas dari benaknya peran
berani yang dilakonkan. Setiap orang membicarakannya. Bagaimana dia menggunakan
uang kantor tanpa henti. Meminjam koperasi menjadi kegiatan rutin berdalih
sebagai hak pegawai. Mungkin karena ibu-ibu sudah hafal dengan gelagatnya,
mereka menjadi korban hanya satu kali. Namun bagi lelaki yang terbuai
kecantikannya menjadi bulan-bulanannya. Soal pembayaran, ia memasrahkan begitu
saja kepada bendahara. Kemudian orang-orang itu meminta uang yang menjadi
haknya tanpa lagi meminta persetujuannya. Tak heran setiap bulan nyaris ia tak
terima gaji kecuali hanya tersisa seidkit.
Semua berdalih ewuh perkewuh karena dengan teman sendiri. Meski di balik semua itu
mereka terus bergunjing, untuk apa dia selalu meminjam uang. Pakaiannya jelas
terprogram dari kantor dari Senin hingga Jumat. Hari Sabtu pun pakaian
bebasanya biasa saja. Bahkan terkesan membosankan. Asesoris tak pernah
menyertai kecuali giwang bermata satu. Jauh dari kesan glamour.
Kalau toh selama ini suaminya terdengar
jarang pulang ke rumah, setidaknya
dengan gaji pribadi dia bisa menghidupi dirinya sendiri tanpa meminjam sana
sini. Anak juga dia belum memiliki.
“Mentang-mentang habis dapat arisan.”
Vio menanggapi dengan senyum. Dadanya
semakin bergemuruh. Bagaimana kalau dia langsung mengungkapkan kebiasaan
buruknya dengan mengeluarkan jurus-jurus omongannya yang berbisa. Berbisa
karena selalu mematikan bagi siapapun lawannya. Tak segan ia akan menggadaikan
gawai Vio jika dia menjawab uang arisan telah habis untuk membeli gawai itu
sementara dia menginginkan. Padahal Vio harus mengurangi gajinya bulan depan
supaya bisa membeli powerbank agar
ketika dia bepergian jauh tidak kebingungan karena batery habis.
Tiba-tiba ketika sejuta pertanyaan
berputar-putar dalam pikirannya, perhatian Vio terbelah oleh panggilan dari
dalam sakunya. Ia pun menyerahkan gawai Vio. Sesaat kemudian, lagi-lagi
kata-katanya membuatnya tercengang.
“Lihat sms ini,” pintanya menyodorkan
gawainya.
Kata-kata yang tertera dari salah satu
temannya yang mengurus koperasi. Dia bilang kalau semua THR, laba koperasi, dan
SHU telah habis untuk melunasi hutangnya. Ada tersisa sedikit.
“Uang yang tersisa sedikit itu untukmu
membeli powerbank, biar tidak bingung
kalau lagi keluar kota.”
Vio memandang terheran. Dia seperti bisa
menebak pikirannya. Pasti bendahara yang telah bercerita.
“Aku sudah resign.”
“Mbak...”
“Anggap saja powerbank itu kenang-kenangan dariku.”
Vio tercengang untuk kesekian kali atas
keberanian yang ditunjukkan. Untuk kedua kali beraktivitas lagi gawainya. Tidak
lama kemudian dia berpamitan. Pandangan Vio mengikuti langkahnya. Vio baru
mengerti alasan sepak terjangnya selama ini ketika seorang pedagang akik yang
dikenalnya menggandengnya mesra.
Sementara petugas yang membagikan kue ganjeril
selesai menunaikan kewajibannya. Mayarakat mulai sepi. Panggung telah berakhir.
@@@
Cerpen ini pernah saya ikut sertakan dalam lomba menulis cerpen Femina 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar