Penggunaan
waktu seperempat jam sebelum pembelajaran dimulai untuk berliterasi telah berlangsung sejak tahun 2015. Hal ini
mengacu pada payung hukum Permendikbud nonor 23 tahun 2015. Tetapi sudahkah
semua sekolah telah melaksanakan pesan yang terkandung dengan optimal?
Pada sekolah-sekolah tertentu,
terutama sekolah swasta, literasi seperti yang termaktub dalam undang-undang
tersebut menjadi bermakna luas. Literasi dalam konteks baca dan tulis bisa
diimplementasikan pada huruf-huruf Arab untuk menunjang ciri khusus sekolah
tersebut. Akibatnya literasi yang dimaksud hanya berlangsung pada pelajaran
bahasa Indonesia. Padahal fungsi bahasa
Indonesia sebagai penghela atau pengantar semua mata pelajaran. Untuk itu
setiap siswa diharapkan berminat membaca semua buku mata pelajaran dan kelak
pada waktunya juga buku-buku bacaan umum.
Sementara
sekolah swasta juga mengemban amanah dari stakeholder. Yang tentu semua itu
bertujuan untuk kemaslahatan masyarakat sekitarnya. Apalagi salah satu
tujuannya berdampak pada penerimaan para calon peserta didik pada tahun ajaran
baru.
Guru bahasa Indonesia perlu menjembatani
antara pesan undang-undang dengan amanah stakeholder sehingga tidak terjadi
krisis literasi. Satu sisi keinginan stakeholder terpenuhi, sisi lain siswa
tetap mendapatkan pengalaman-pengalaman berliterasi sebagaimana yang didapatkan
para siswa pada umumnya dari sekolah lain.
Pojok baca
adalah salah satu sarana menjembatani pesan kedua belah pihak. Hal ini berlaku
bagi kelas dengan siswa bernilai akademik tinggi maupun kurang. Bagi kelas
dengan siswa gemar membaca, buku-buku yang disediakan cukup meminjam dari
perpustakaan sejumlah siswa satu kelas, bila memungkinkan bisa lebih tergantung
jumlah buku yang dimiliki. Sedangkan bagi kelas dengan siswa minat membaca
rendah, buku yang disediakan berdasarkan swadaya mereka. Setiap siswa diminta
membawa buku sesuai keinginannya. Bacaan yang dibawa bisa berupa komik, buku
cerita, koran, majalah, bahkan resep masakan ibunya bila terpaksa siswa tidak
memiliki buku bacaan. Yang terpenting siswa membaca.
Dengan
tidak mengesampingkan fungsi perpustakaan-bagaimanapun perpustakaan adalah
pintu gerbang jendela dunia- siswa dengan membawa buku sendiri lebih efektif
memintanya untuk membaca.Diharapkan dengan cara seperti ini siswa gemar
membaca, dan pada akhirnya punya minat baca tinggi. Kelak pada tingkat baca
tinggi, siswa diberi buku-buku dari perpustakaan yang tentu sudah disesuaikan
dengan tingkatan mereka.
Pojok baca
dibuat berdasarkan kreativitas siswa satu kelas, terletak pada kelas bagian
belakang sehingga tidak menggangu pembelajaran. Di samping itu, menghapus citra
pojok kelas yang selama ini hanya
untuk para siswa yang malas dan enggan mengikuti pelajaran. Buku-buku ditata di
rak yang ditempel di dinding dengan model seperti yang mereka kehendaki, begitu
pun hiasan-hiasannya. Hal ini diharapkan mengundang siswa bersemangat membaca. Pelaksaan
literasi bisa kapan saja, seperti saat istirahat dan jam kosong, tentunya juga
pada pelajaran bahasa Indonesia.
Setiap kali selesai membaca siswa
diminta menuliskan intisari dari buku bacaannya di buku jurnal membaca yang
dikumpulkan di kelas. Hal ini untuk memantau bahwa siswa telah melaksanakan
kegiatan literasi. Guru membuat skor. Penilain tertinggi diberikan kepada siswa
dengan kegiatan literasi paling sering. Hasil penilaian ini berguna untuk
menambah hasil PTS (Penilaian Tengah Semester) dan PAT (Penilaian Akhir Semester), terutama bagi siswa dengan akademik rendah.
Diharapkan
dengan pojok baca semua siswa dari
semua tingkat akademik memiliki pengalaman membaca sebagaimana yang termaktub
dalam undang-undang. Dengan demikian bahasa Indonesia sebagai penghela atau
pengantar pelajaran-pelajaran lain menjadi tidak terkendala. Pojok baca telah menyelesaikan masalah krisis
literasi. Semoga terlahir generasi-generasi yang selalu berhasrat memajukan
bangsa ini.
@@@
Artikel ini pernah dimuat di harian Solopos, Minggu
29 September 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar