Iis Soekandar: November 2018

Selasa, 06 November 2018

Cerita di Balik Cerita


Antara Prasidatama dan Kopdar


          Waktu menunjuk pukul 09.00WIB ketika saya tiba di hotel Pandanaran. Itu berarti sudah dua jam terlewat dari acara pembukaan sebagaimana tertera dalam undangan. Hotel yang terletak di Jalan Pandanaran itu tampak ramai. Hilir mudik kendaraan roda dua dan empat. Mungkin mereka para tamu undangan yang juga terlambat seperti saya.
            Panitia sangat welcome. Setelah mengisi buku tamu dan menerima sebuah tas berisi buku-buku dan alat tulis saya sempat ramah tamah sejenak, di antaranya mengungkapkan keresahan saya karena datang terlambat dan mungkin juga tidak sampai akhir harus pergi. Padahal acaranya begitu menarik. Panitia langsung menyarankan agar saya saat itu juga menyelesaikan urusan administrasi di ruang belakang. Ternyata di sana ttidak hanya urusan administrasi, dengan ramah panitia mempersilakan saya sarapan. Di sana terhidang jamuan prasmmanan. Tentu saja saya menolak. Hal ini menunjukkan mereka begitu respek. Sebab para undangan tidak hanya dari Semarang, teman-teman se-Jawa Tengah yang berkompeten dengan acara itu pasti diundang.
                                                                            


Bersama Mbak Lia Herliana



              Selesai urusan administrasi, begitu memasuki ruangan, tidak ada kata lain dalam hati saya selain ingin bertemu dengan teman-teman. Yah, siapa yang tidak senang, pertemanan yang selama ini hanya di fb tidak lama lagi akan bertemu langsung. tidak heran bila sebelumnya, begitu mendapat undangan dari Balai Bahasa, kami chat, mengungkapkan rasa senang.
            Undangan boleh sama, tetapi rezeki orang berbeda. Saya mendapat tempat belakang. Padahal kanan kiri saya, terlebih yang di depan, adalah dari luar kota. Tapi mereka hadir tepat pukul tujuh pagi. 
            Karena hanya melihat dari belakang, ditambah tidak pernah bertemu di dunia nyata, kembali kami chat, duduk di sebalah mana? Pakai baju apa? Pakai kerudung warna apa?
          Keinginan kami untuk segera bertemu harus tertahan. Kalaupun saya dapat mengira-ngira teman-teman, rasanya tidak etis langsung menghampiri karena tamu undangan masih penuh dan duduk di tempatnya masing-masing.
         Ada hiburan berupa musikalisasi puisi dan lantunan lagu dari seorang penyanyi. Disamping acara utama, yaitu pemberian penghargaan Prasidatama dan launching beberapa buku Balai Bahasa Jawa Tengah, termasuk antologi cerita anak yang juga terdapat di dalamnya “Kembang Manggar” karya saya. Penghargaan ini diberikan kepada lembaga atau perorangan yang memartabatkan bahasa Indonesia dalam beberapa ranah penggunaan di Jawa Tengah. Kategori yang mendapat penghargaan, di antaranya antologi puisi, antologi cerpen, dan novel, yang diterbitkan oleh penerbit di Jawa Tengah, kurun waktu dari tahun 2014 sampai dengan 2018. 
                                                                            
Kopdar bersama


            Hari mulai siang, saya resah. Karena saya harus kembali ke tempat kerja. Di mana saya bisa bertemu teman-teman. Ketika akan salat Duhur lalu mencari musala, di belakang saya bertemu dengan seseorang yang sepertinya saya kenal. Ternyata benar, Mas Muhammad Fauzi. Bisa nggak bisa harus foto bersama, begitu tekad kami. Syukurlah, tidak lama kemudian acara selesai. Kami menenui Mbal Lia Herliana, Mbak Mulasih Tari, Mbah Dian Nafi yang duduk di depan. Tidak ingin kehilangan kesempatan, kami langsung foto bersama. Setelah itu menikmati jamuan makan siang secara prasmanan.
            Walaupun kopdar terasa singkat, setidaknya karena Prasidatama, kami bisa bertemu. Sebuah pengalaman yang tidak saya sangka sebelumnya. Terima kasih Balai Bahasa Jawa Tengah. Menunggu acara kerenanya tahun depan!
@@@







Kamis, 01 November 2018

Sekelumit tentang "Kembang Manggar"






         Cerita ini berawal ketika saya teringat pernyataan seorang teman bahwa anak-anak perlu diberi pembelajaran mencari uang. Gunanya agar mereka tidak meminta uang dengan mudah. Sebab mencari uang tidak semudah mereka meminta.
            Ide cerita itu saya kembangkan saat Balai Bahasa Jawa Tengah mengadakan seleksi menulis cerita anak bagi penulis-penulis berdomisili di Jawa Tengah. Karena menulis cerita anak, seperti biasa saya berdiskusi dengan orang-orang sekitar yang lekat dengan anak-anak usia SD. Sebab ada hal yang mengganjal. Bolehkah anak-anak disuruh bekerja mencari uang?
            Setelah wawancara dengan beberapa orang, mereka mengatakan tidak menjadi masalah. Sebab hal ini termasuk pendidikan karakter. Apalagi barang yang dijual dekat anak-anak, yaitu kembang manggar. Agar terkesan natural ide mencari uang mereka sendiri yang mencetuskan. Hasilnya penjualan itu akan disumbangkan kepada anak-anak yang kurang beruntung di panti asuhan.


              Tantangan tidak hanya dari menciptakan pendidikan karakter, tetapi jumlah halaman yang tidak biasa membuat saya juga harus berpikir membuat cerita tidak terkesan bertele-tele, pembaca asyik sepanjang membaca, sekaligus memetik hikmahnya. Sebab jumlah yang diminta antara 6-10 halaman A4. Tentu bukan hal biasa membuat cerita anak hingga sepanjang itu. Biasanya cerita anak panjang halaman kira-kira tiga halaman A4.  
            Tradisi Dugderan saya jadikan sebagai latar cerita ini. Dugderan adalah tradisi di Semarang menjelang puasa Ramadan dengan ikon terkenal warak ngendhog. Seminggu sebelum puasa Ramadan, di alun-alun diadakan keramaian. Ada banyak permainan anak-anak, dijual pula mainan anak-anak terbuat dari gerabah dan celengan. Dalam even ini saya sisipi anak-anak menjual kembang manggar. Kembang manggar hasil dari tugas SBK. Agar tidak terbuang percuma, selesai dinilai dikumpulkan kemudian dijual. Dari sini mereka belajar bagaimana susahnya orangtua mencari uang.


          Akhirnya tulisan sederhana berjumlah sembilan lebih atau hampir sepuluh halaman A4 berhasil bermuara di Balai Bahasa Jawa Tengah. Saya bertemu dengan penulis-penulis keren saat launching buku antologi. Selamat membaca bagi yang mendapatkan bukunya, semoga suka dan berguna!
@@@