Teratai
Namanya Teratai. Aku memanggilnya Tera, sebagaimana
dia memperkenalkan namaya padaku dulu, dengan huruf e dilafalkan seperti orang
mengatakan kata tempe, makanan berbahan baku kedelai. Sekilas terbersit rasa
rendah diri mengajak pertemanan dengannya. Buat penghuni baru di kampung ini, apalah artinya diriku.
Dibanding Tera yang selalu banyak teman. Kalau bukan dia membawa teman selepas
pergi, ada saja teman-temannya yang datang.
Namun
tanpa kusangka dia mendatangiku suatu sore.
"Hai...
rajin amat, nyapu sendiri," sapanya ramah. Bahkan dia membuka sendiri
pintu pagar rumahku. Lalu tanpa sungkan menyodorkan tangan kanannya. Sikapnya
yang sok akrab, walaupun saat itu kami baru berkenalan, membuatku tak lagi
rendah diri.
"Salam
kenal, namaku Teratai, panggil saja Tera.”
"Aku Danila, panggil saja Nila. Tapi
maaf tanganku kotor, belum mandi lagi," kataku sungkan dengan tangan kiri masih
memegang sapu sementara tangan kanan
menyambutnya.
"Seperti nama ikan, ikan nila,
xixixixi." Begitulah dia mengakhiri kalimatnya dengan tawa yang tertahan
di kerongkongan sehingga jika ditulis kira-kira... xixixixi.
"Ha ha ha..." kutanggapi dia
dengan tawa juga. Padahal aku tertawa karena tawanya, bukan karena ikan nila.
Bukankah begitu biasanya orang tertawa? Ha ha ha atau he he he.
"Kotor dan belum mandi bukan berarti
haram kan?"
Aku
tersenyum.
"Masuk, yuk! Kebetulan menyapuku
sudah selesai,"pintaku kemudian.
"Enakan di teras."
Lalu kami duduk berdua di bangku panjang sembari
menikmati semilir angin. Terutama buatku yang baru saja bersih-bersih rumah.
Peluh membasahi wajah dan badan. Aku
juga cerita kalau aku mengerjakan sendiri pekerjaan rumah karena mama bekerja
dan tidak lagi punya asisten. Ketika di rumah lama, kami punya asisten rumah
tangga yang bekerja dari pagi hingga sore. Lalu rumah waris itu dijual dan kami
beli rumah di sini. Setelah dipikir-pikir, kurasa mama tidak perlu cari asisten
lagi. Zaman sekarang serba elektrik dan praktis. Mesin cuci, setrika listrik,
penanak nasi listrik, semua itu membuat kami bisa melakukan pekerjaan rumah berdua
tanpa asisten rumah tangga.
"Ngomong-ngomong, kamu pasti suka
kucing,” tanyaku sejak tadi melihatnya membawa boneka kucing.
"Ah, iya, sampai lupa. Ini terbawa.
Sebetulnya aku tadi ke luar untuk panggil Bibi. Eh ternyata kamu ada di depan.
Pelampiasan, sih. Sebetulnya aku selalu pelihara kucing persia. Tapi yang
terakhir, juga diminta saudaraku. Ya, sudah aku berikan, yang penting dia bisa
pelihara. Ketika Mama mau beliin lagi, Bibi cerita kalau kucingnya di kampung
tidak ada yang ngurus. Cucunya yang memelihara kucing itu meninggal karena
sakit. Aku jadi berpikir seribu kali
buat beli kucing lagi.”
"Maksudmu kamu akan
memeliharanya?"
"Iya. Aku paling sedih kalau lihat
binatang telantar, apalagi kucing. Yah, sekali tempo nggak apalah memelihara
kucing kampung."
Sayang pembicaraan yang akrab itu harus
terhenti. Mama pulang. Setelah menyampaikan salam kenal, Tera pamit. Walaupun mama
bersikeras meminta Terà tidak pulang.
Tentu saja mama suka kedatangan Tera sore
itu. Semenjak tinggal di daerah ini selama sebulan waktuku hanya kuhabiskan di
rumah sekembali dari sekolah. Renita, sahabatku, datang kemari hanya pada saat
kami pindah. Apalagi teman-teman lain. Ah, siapa yang mau datang di daerah
pinggir seperti rumah kami.
Tentu berbeda dengan orangtua Tera. Bagi
orang kaya seperti mereka membeli rumah di piggir kota bermaksud mencari udara
segar dan ketenangan di antara rutinitas kota yang bising dan penuh polusi.
Kamu
pasti bisa menduga. Jika pertemuan awal Tera begitu terbuka, bagaimana hubungan
kami selanjutnya. Yah, kami akrab. Terkadang aku ke rumahnya, terkadang dia ke
rumahku.
Tapi
beberapa minggu terakhir aku kehilangan Tera, sahabatku di kampung ini. Tidak
lagi kulihat keceriaannya, tawanya yang ... xixixi, juga boneka kucing yang
selalu dalam pelukannya.
Seperti
yang diutarakan, di kampung ini tidak ada remaja seusiaku kecuali dia.
Selebihnya anak-anak yang masih belajar di sekolah dasar dan kakak-kakak
mahasiswa. Setiap kali bertemu paling kami cuma bertegur sapa dan tersenyum.
Mungkin sangkaan mereka “nggak nyambung bicara dengan anak SMA”. Sebagaimana
aku juga tidak berhasrat berteman dengan kakak-kakak mahasiswa itu.
Akhir-akhir ini rumah Tera selalu tertutup.
Tidak ada pula kehadiran teman-temannya. Bukan berarti tidak bisa mengetuk
pintu jika aku ingin berkunjung. Tapi rasanya sudah menjadi peraturan tak
tertulis, jika rumah tertutup itu berarti kami sedang tidak ingin menerima tamu.
Begitupun Tera, selalu datang pada saat aku menyapu halaman. Lagi pula pertemuan
kami tidak didasar atas sesuatu penting kecuali sekadar tanya kabar. Walau
begitu kedatangan Tera amat berarti.
Aku semakin tidak berani berharap bertemu
dengannya ketika bibi yang sedang menyapu di halaman memberi jawaban yang tidak kuduga.
"Sudah lama saya tidak melihat
Tera."
"Non Tera memang lagi sibuk ke rumah
sakit...”
"Siapa yang sakit, Bi?”
"Tresna. Dia...
"Bi..... " tiba-tiba mamanya nongol.
"Eh Nila. Ayo main ke sini. Tapi Tera lagi di rumah sakit.”
"Terima kasih, Tante, lain kali aja. Saya
juga baru saja dari supermarket, disuruh belanja Mama.” Kutunjukkan sekantung
plastik bahan makanan.
Sampai di rumah kutumpahkan keterkejutanku
kepada mama.
"Ma, ternyata Tera lama tidak kelihatan
karena sibuk nungguin pacarnya." Ungkapku begitu menyerahkan belanjaan
kepada mama.
"Pacar? Kamu bilang Tera tidak punya
pacar?"
"Waktu itu dia tidak menjawab iya atau
nolak. Tapi senyum-senyum. Bibi tadi bilang dia sibuk nungguin Tresna di rumah
sakit. Itu kan nama cowok. Iya kan ma?"
"Iya, tepatnya cowok dari Jawa. Yah,
mungkin dia malu. Ini menyangkut privasi, Nil."
"Kalau saja dia berterus terang, Nila mau
besuk."
"Tidak semua yang kita anggap baik diterima
orang lain. Lebih baik nunggu dia datang lagi kemari.”
Aku
masuk kamar dan mencerna kata-kata mama. Betul juga ya, kalau dalam keadaan dia
bingung aku datang, memang aku bisa bantu? Jangankan ikut nyelesein masalah
sepasang remaja yang lagi kasmaran, deketan dengan lawan jenis saja aku belum
pernah. Selama ini mereka sekadar teman biasa. Apalagi semenjak papa tiada
setahun lalu. Aku mesti berhati-hati dalam bargaul. Jangan sampai karena urusan
cinta kemudian mengganggu sekolahku. Kasihan mama yang sudah menjadi single parent.
@@@
Kulalui
hari-hari seorang diri. Kegiatan bersih-bersih rumah yang kulakukan setiap sore
menjadi semakin berat. Tiada lagi teman berbincang satu nasib, sama-sama anak semata
wayang dan sama-sama nggak punya teman di kampung ini, kecuali kami berdua.
"Hai, ikan Nila xixixixi."
Aku terperanjat dan ternganga, benarkah yang kudengar?
"Hai, Kucing,” kataku tak kalah senang,
ganti meledek.
Seperti biasa dia langsung membuka pintu
pagar. Sebagaimana kedatangannya yang selalu setelah aku menyelesaikan
pekerjaan rutinku di halaman, kami pun melepas kangen di bangku teras.
"Duh yang punya pacar nggak bilang-bilang.
Maafin, aku nggak sempat nengok di rumah sakit.”
"Pacar? Di rumah sakit?”
Tera bingung.
"O, Tresna maksudmu? Lha, ini Tresna,”
katanya sambil menunjuk seekor kucing di pangkuannya. Kali ini bukan boneka. “
Kucing ini dari kampung Bibi, yang pernah aku critain dulu. Bibi bilang namanya
jangan diganti. Tresna itu dari bahasa Jawa, artinya setia. Jadi biar dia setia
juga sama aku. Mungkin di sini dia lagi adaptasi, terus diare, aku bawa ke rumah
sakit, dokter bilang harus opname.”
“Jadi Tresna nama kucing?” ulangku tak percaya
campur dongkol.
“Xixixixi...”
Betapapun dia telah membuatku dongkol dengan
ceritanya, yang penting aku telah menemukan tawanya lagi.
@@@
Ceritanya menghibur, mbak Iis 😊
BalasHapusMakasih Mbak Maharani Aulia sudah mampir di blog saya. Senang bisa menghibur Mbak
Hapus