Iis Soekandar: Resensi Novel : Bapangku Bapunkku

Kamis, 05 November 2015

Resensi Novel : Bapangku Bapunkku


Tertawa itu Perlu

Bapangku Bapunkku

Judul buku                : Bapangku Bapunkku
Penulis                      : Pago Hardian
Penyunting bahasa  : Mastris Radyamas
Penerbit                    : Indiva
Ketebalan                  : 232 halaman
Ukuran                       : 20 cm
ISBN                           : 978-602-1614-47-1
Cetakan I                   : April, 2015
Harga                         : Rp 49.000,00

       Membaca judulnya orang bisa menebak, novel ini menceritakan kehidupan bapak”, orang tua lelaki yang biasa disebut dalam keluarga berlatar belakang Jawa. Kendati tidak persis menyebut bapak. Indonesia yang kaya beragam suku, beragam pula bahasa setiap daerahnya. Begitupun dengan sebutan “bapak”. “Bapangku” berasal dari kata “bapang” mendapat imbuhan kepemilikan –ku. “Bapang”  sebutan  bapak” untuk daerah Suku Semende, Sumatera Selatan. Sedangkan bapunkku, dari bapang yang punk. Punk adalah gaya aliran anak muda yang mengacu kepada kebebasan dengan gaya rambut mohawk.
       Walaupun Bapang tidak menata rambutnya model mohawk, tapi gaya kebebasannya cukup membuat keluarga dan orang-orang sekitarnya menjadi stres, sekaligus berbeda dari kehidupan pada umumnya. Itu sebabnya penulis mengimbanginya dengan menampilkan dialog dan tingkah laku para pelakunya lucu agar tidak tegang sepanjang membaca.   
       Seorang Bapak dalam struktur agama apapun selalu menjadi kepala rumah tangga. Bapang pun menjadi kepala rumah tangga atas seorang istri dan empat orang anaknya, Alap, Harnum, Tuah, dan Anjam dalam keluarga Islam yang kuat. Sebagaimana kebiasaan orang-orang dari suku di luar Jawa yang cenderung berperilaku kasar, Bapang bertemperamen tinggi. Tetapi sebagai salah satu sifat Tuhan yang Mahaadil, Bapang yang kasar disandingkan dengan Bunda, seorang wanita lemah lembut dari Jogya.
       Bapang sangat kuat dalam memegang prinsip. Dia berpendapat pendidikan sesungguhnya dan mendasar adalah di rumah. Kedua orangtualah yang pertama kali melihat perkembangan anak sekaligus paling tahu. Itu pula menjadi hal utama bagi pendidikan anak-anak kelak di luar rumah atau masyarakat, termasuk dalam sekolah formal. Dan dia sangat menjunjung tinggi bahwa setiap orang punya kelebihan sendiri-sendiri. Sehingga ketika Anjam, anak bungsunya, tidak naik kelas dua dan dikatakan bodoh oleh teman-temannya, ia sangat marah. Bagaimana mungkin juara mewarnai tingkat RT, RW, kelurahan, kecamatan bahkan tingkat kabupaten dan provinsi dengan segudang piala dan piagam dikatakan anak bodoh dan tidak naik kelas. Wali kelasnya sekalipun belum tentu bisa mewarnai dan mendapat  piala serta piagam sebanyak yang Anjam peroleh. Atas prestasinya foto-foto Anjam dipasang untuk promosi spanduk penerimaan murid baru.
       Sementara sekolah mempunyai standar kenaikan kelas yang berbeda, yaitu bisa membaca dan menulis. Untuk itulah Bapang punya ide mendirikan sekolah sendiri. Sesuai filosofinya bahwa tidak ada orang yang bodoh, melainkan pasti punya kelebihan, dalam sekolah baru itu, mereka akan memilih jurusan sesuai dengan kelebihan yang dipunya. Muridnya pun tidak dibatasi, dari anak-anak hingga lansia, berpegang pada kenyataan, setiap orang memiliki kesiapan sendiri-sendiri dalam menghadapi hal baru, termasuk menerima pembelajaran.
       Tidak kuasa membendung amarah, keempat anaknya berencana dikeluarkan dari sekolah umum. Bapang bahkan rela kehilangan Bunda dengan menceraikannya ketika ia membantah keras tidak menyetujui rencananya mengeluarkan keempat anak laiknya orang bersekolah.
       Bunda ketakutan, tidak disangka suaminya memegang demikian kuat pendiriannya hingga siap kehilangan dirinya. Tidak mau kehilangan suami terlebih keempat anaknya, Bunda meminta pihak ketiga, yaitu Uwak Bagus, orang yang dianggap kakaknya sendiri, untuk menengahi. Setelah diberi masukan, pikiran Bapang sedikit melunak, akhirnya diambil jalan tengah. Mereka tetap masuk sekolah sampai satu tahun, menunggu sekolah versi Bapang berdiri, dengan model yang sangat berbeda dengan sekolah umum, dari peserta didik usia lima sampai lima puluh tahun, pelajaran wajib seperti spiritual, budi pekerti, personality, interpersonality dan finansial, hingga jurusan pengecapan, pendengaran, penglihatan, suara, geraka tubuh, perhitungan, dan pengucapan. Dengan model sekolah versi Bapang, terbukti dua puluh tahun kemudian, Alap, Harnum, Tuah, dan Anjam menjadi orang sukses bertumpu pada kelebihannya masing-masing.
       Ibarat masakan, novel ini sudah lezat. Hiburan tidak saja dari segi batin dengan kaya pendidikan karakter serta pengalaman hidup yang bisa dipetik hikmahnya, tetapi juga memberikan hiburan secara fisik. Pembaca dibuat tersenyum bahkan tertawa sepanjang membaca novel ini. Pilihan kata yang disajikan membuat pembaca terhibur, begitupun tingkah laku dengan keluguannya masing-masing menciptakan tawa. Seperti ketika Harnum ingin berganti nama, Alap menyarankan menjadi Al-mukaddimah Al-mukarromah binti Al-pukat dan Al-kohol. Yang tidak disangka ketika mereka sedang tegang menanti keputusan Bapang dan Bunda bercerai ataukah tidak. Terjadi dialog kecil antara Alap dan Anjam. Anjam tidak mengerti arti bercerai. Dia mengira-ira bercerai bukan teman bawang. Apa respon Alap ? Teman bawang itu serai. Menjadi spesial diantara cerita bergulir, disisipi dengan esai. Seperti tidak setuju pendapat Andrea Herata, penulis Laskar Pelangi bahwa ayahnya yang pendiam lebih besar kasih sayang dibanding ayah yang cerewet. Alap menolak ayah yang cerewet seperti Bapang sedikit memberikan kasih sayang kepada anak-anaknya. Kemudian Presiden Suharto yang mendoktrin PKI beserta anak turunannya buruk. Jaman Presiden Habibi yang menyetujui berpisahnya Timor-Timur dari kedaulatan Negara Republik Indonesia yang telah ratusan tahun diperjuangkan.   
       Kelebihan cerita ini karena menampilkan pendidikan karakter yang kental. Latar belakang penulis sebagai seorang guru tak bisa terlepas dari berbagai pendidikan karakter ditampilkan. Sesuai menjadi bacaan para pelajar dengan kurikulum yang sedang berlaku, yaitu KTSP yang mengutamakan pendidikan karakter. Begitupun remaja pada umumnya. Disamping itu sudut pandang pengarang sebagai orang pertama serba tahu dengan gaya penceritaan pembaca sebagai orang kedua membuat pembaca lebih dekat dengan cerita ini karena merasa dilibatkan langsung.
      Kelemahan cerita ini terdapat perilaku tidak singkron diantara bertabur pendidikan karakter. Terlebih ditampilkan keluarga muslim. Dalam ajaran Islam, tidak ada perbedaan, dari ras atau suku manapun, bahwa siapapun yang berbuat kasar akan dijauhi orang lain. Tetapi penulis sengaja ingin membuat novel ini tanpa tercela, pada akhir cerita diklarifikasi bahwa perilaku kasar melanggar agama dan dijauhi orang lain. Begitupun ketika Bapang punya niat mengeluarkan anak-anaknya dari sekolah umum. Pendidikan di rumah adalah pendidikan dasar. Meski begitu pendidikan formal tidak kalah penting karena menyangkut interaksi dengan orang lain dan pasti ada ilmu-ilmu yang bermanfaat yang tidak didapat dari rumah. Sekalipun dengan mengambil solusi mendirikan sekolah sesuai versi Bapang. Tidak setiap orang bisa mewujudkannya. Disamping membutuhkan biaya yang tidak sedikit, banyak hal lain yang dibutuhkan untuk mendirikan sebuah sekolah.
       Sebagai novel yang menceritakan tujuh puluh lima persen kehidupan anak muda, boleh dibilang bahasanya gaul. Bahkan tidak jarang Bapang sebagai orang tua juga terkadang menggunakan bahasa gaul. Cukup mewakili sebagai bacaan  untuk anak muda. Disamping sebagai sarana mengisi waktu yang positip, secara langsung maupun tidak juga dapat digunakan sebagai pembelajaran. Terlebih dengan menyisipkan kearifan budaya local sebagai penyeimbang. Mengingat era digital sangat mudah bagi mereka mengadopsi budaya luar.
@@@

      


Tidak ada komentar:

Posting Komentar