Tertawa
itu Perlu
Judul buku : Bapangku Bapunkku
Penulis : Pago Hardian
Penyunting bahasa : Mastris Radyamas
Penerbit : Indiva
Ketebalan : 232 halaman
Ukuran : 20 cm
ISBN : 978-602-1614-47-1
Cetakan I : April, 2015
Harga : Rp 49.000,00
Membaca judulnya
orang bisa menebak, novel ini menceritakan kehidupan “bapak”, orang tua lelaki yang biasa disebut dalam keluarga berlatar belakang Jawa. Kendati tidak
persis menyebut “bapak”. Indonesia yang kaya beragam suku, beragam pula bahasa setiap daerahnya. Begitupun dengan sebutan “bapak”. “Bapangku” berasal dari kata “bapang” mendapat imbuhan kepemilikan –ku. “Bapang” sebutan “bapak” untuk daerah Suku Semende, Sumatera Selatan.
Sedangkan bapunkku, dari bapang yang punk. Punk adalah gaya aliran anak muda
yang mengacu kepada kebebasan dengan gaya rambut mohawk.
Walaupun Bapang
tidak menata rambutnya model mohawk, tapi gaya kebebasannya cukup membuat
keluarga dan orang-orang sekitarnya menjadi stres, sekaligus berbeda dari
kehidupan pada umumnya. Itu sebabnya penulis mengimbanginya dengan menampilkan
dialog dan tingkah laku para pelakunya lucu agar tidak tegang sepanjang
membaca.
Seorang Bapak dalam struktur agama apapun selalu
menjadi kepala rumah tangga. Bapang
pun menjadi kepala rumah tangga atas seorang istri dan empat orang anaknya, Alap, Harnum, Tuah, dan Anjam dalam keluarga Islam yang kuat. Sebagaimana kebiasaan orang-orang dari suku di luar Jawa yang cenderung berperilaku kasar, Bapang bertemperamen tinggi. Tetapi sebagai salah satu sifat Tuhan yang Mahaadil, Bapang yang kasar disandingkan dengan Bunda, seorang wanita lemah lembut dari Jogya.
Bapang sangat kuat dalam memegang prinsip. Dia
berpendapat pendidikan sesungguhnya dan mendasar adalah di rumah. Kedua
orangtualah yang pertama kali
melihat perkembangan anak sekaligus paling tahu. Itu pula menjadi hal utama bagi pendidikan anak-anak kelak di luar rumah atau masyarakat, termasuk dalam sekolah formal. Dan
dia sangat menjunjung tinggi bahwa setiap orang punya kelebihan
sendiri-sendiri. Sehingga ketika Anjam,
anak bungsunya, tidak naik kelas dua dan dikatakan bodoh oleh teman-temannya,
ia sangat marah. Bagaimana
mungkin juara mewarnai tingkat RT, RW, kelurahan,
kecamatan bahkan tingkat kabupaten dan provinsi dengan segudang
piala dan
piagam dikatakan
anak bodoh dan tidak naik kelas. Wali
kelasnya sekalipun belum tentu bisa mewarnai dan mendapat piala serta piagam sebanyak yang Anjam
peroleh. Atas prestasinya foto-foto Anjam dipasang untuk promosi spanduk
penerimaan murid baru.
Sementara
sekolah mempunyai standar kenaikan kelas yang berbeda, yaitu bisa membaca dan menulis. Untuk
itulah Bapang
punya ide mendirikan
sekolah sendiri. Sesuai filosofinya bahwa tidak ada orang yang bodoh, melainkan pasti punya kelebihan, dalam sekolah baru itu, mereka akan memilih jurusan sesuai dengan kelebihan yang dipunya. Muridnya pun tidak dibatasi, dari anak-anak
hingga lansia, berpegang
pada kenyataan, setiap orang memiliki kesiapan sendiri-sendiri dalam menghadapi hal baru,
termasuk menerima pembelajaran.
Tidak kuasa membendung amarah, keempat anaknya berencana
dikeluarkan dari sekolah umum. Bapang bahkan rela kehilangan Bunda dengan menceraikannya ketika ia membantah keras tidak menyetujui rencananya mengeluarkan keempat anak laiknya orang bersekolah.
Bunda ketakutan, tidak disangka suaminya memegang demikian
kuat pendiriannya
hingga siap
kehilangan
dirinya. Tidak
mau kehilangan suami terlebih keempat anaknya, Bunda meminta pihak ketiga, yaitu Uwak Bagus, orang yang dianggap kakaknya sendiri, untuk menengahi. Setelah diberi masukan, pikiran Bapang sedikit melunak, akhirnya diambil jalan tengah. Mereka tetap masuk sekolah sampai satu
tahun, menunggu sekolah versi Bapang berdiri, dengan model yang sangat berbeda dengan sekolah umum, dari peserta
didik usia lima sampai lima puluh tahun, pelajaran wajib seperti spiritual,
budi pekerti, personality, interpersonality dan finansial, hingga
jurusan pengecapan, pendengaran, penglihatan, suara, geraka tubuh, perhitungan,
dan pengucapan. Dengan model sekolah versi Bapang, terbukti dua puluh tahun kemudian, Alap, Harnum, Tuah, dan
Anjam menjadi
orang sukses bertumpu pada kelebihannya masing-masing.
Ibarat
masakan, novel ini sudah lezat. Hiburan tidak saja dari segi batin dengan kaya
pendidikan karakter serta pengalaman hidup yang bisa dipetik hikmahnya, tetapi
juga memberikan hiburan secara fisik. Pembaca dibuat tersenyum bahkan tertawa sepanjang membaca novel ini.
Pilihan kata yang disajikan membuat pembaca terhibur, begitupun tingkah laku
dengan keluguannya masing-masing menciptakan tawa. Seperti ketika Harnum ingin
berganti nama, Alap menyarankan menjadi Al-mukaddimah Al-mukarromah binti Al-pukat
dan Al-kohol. Yang tidak disangka ketika mereka sedang tegang menanti keputusan
Bapang dan Bunda bercerai ataukah tidak. Terjadi dialog kecil antara Alap dan
Anjam. Anjam tidak mengerti arti bercerai. Dia mengira-ira bercerai bukan teman
bawang. Apa respon Alap ? Teman bawang itu serai. Menjadi spesial diantara
cerita bergulir, disisipi
dengan esai. Seperti tidak setuju pendapat Andrea Herata, penulis Laskar Pelangi bahwa ayahnya yang pendiam lebih besar kasih sayang
dibanding ayah yang cerewet.
Alap menolak
ayah yang cerewet seperti
Bapang sedikit memberikan
kasih sayang
kepada anak-anaknya. Kemudian Presiden Suharto yang mendoktrin PKI beserta anak
turunannya buruk. Jaman Presiden Habibi yang menyetujui berpisahnya Timor-Timur dari kedaulatan Negara Republik Indonesia yang
telah ratusan tahun diperjuangkan.
Kelebihan
cerita ini karena menampilkan pendidikan karakter yang kental. Latar belakang penulis
sebagai seorang guru tak bisa terlepas dari berbagai pendidikan karakter
ditampilkan. Sesuai menjadi bacaan para pelajar dengan kurikulum yang sedang
berlaku, yaitu KTSP yang mengutamakan pendidikan karakter. Begitupun remaja
pada umumnya. Disamping itu sudut pandang pengarang sebagai orang pertama serba
tahu dengan gaya penceritaan pembaca sebagai orang kedua membuat pembaca lebih
dekat dengan cerita ini karena merasa dilibatkan langsung.
Kelemahan
cerita ini terdapat perilaku tidak singkron diantara bertabur pendidikan
karakter. Terlebih ditampilkan
keluarga muslim. Dalam ajaran Islam, tidak ada perbedaan,
dari ras atau suku manapun, bahwa siapapun yang berbuat kasar akan dijauhi orang lain. Tetapi penulis sengaja ingin membuat novel
ini tanpa tercela,
pada akhir cerita diklarifikasi bahwa perilaku kasar melanggar agama dan dijauhi orang lain.
Begitupun ketika Bapang punya niat mengeluarkan anak-anaknya dari sekolah umum. Pendidikan di rumah adalah pendidikan
dasar. Meski begitu pendidikan formal tidak kalah penting karena menyangkut
interaksi dengan orang lain dan pasti ada ilmu-ilmu yang bermanfaat yang tidak
didapat
dari rumah. Sekalipun
dengan mengambil solusi mendirikan sekolah sesuai versi Bapang. Tidak
setiap orang bisa mewujudkannya. Disamping membutuhkan biaya yang tidak
sedikit, banyak hal lain yang dibutuhkan untuk mendirikan sebuah sekolah.
Sebagai
novel yang menceritakan
tujuh puluh lima persen kehidupan anak
muda, boleh dibilang bahasanya gaul. Bahkan tidak jarang Bapang sebagai orang tua juga terkadang menggunakan bahasa gaul. Cukup mewakili sebagai bacaan untuk anak muda. Disamping sebagai sarana
mengisi waktu yang positip, secara langsung maupun tidak juga dapat digunakan
sebagai pembelajaran.
Terlebih dengan menyisipkan
kearifan budaya local sebagai penyeimbang. Mengingat
era digital sangat mudah bagi mereka mengadopsi budaya luar.
@@@
Tidak ada komentar:
Posting Komentar