Iis Soekandar: Beda Visi

Kamis, 11 September 2025

Beda Visi

                                                                                       

Waktu belum menunjuk pukul setengah delapan pagi ketika saya sampai di halte. Beberapa menit kemudian bus Transjateng jurusan akhir terminal Bawen datang. Hanya ada dua penumpang wanita duduk di belakang. Mereka sedang berbincang masalah pekerjaan. Hawa dingin menusuk kulit. Kota Semarang adalah tempat awal pemberangkatan.  

Hari ini spesial. Saya akan memanfaatkan promosi, dalam rangka memperingati hari jadi Provinsi Jawa Tengah ke-80. Bayarnya seribu kan, saya pakai Kris, pinta saya kepada petugas sambil menyodorkan Hp, bermaksud memindai, sebagai persyaratan. Wah, promonya sudah habis, sejak jam setengah tujuh tadi, jawab petugas. Kalau bayar normal mending pakai uang tunai, gerutu saya lalu memberi selembar lima ribu rupiah.

Kekesalan hati terkadang mengacaukan semua urusan. Tujuan utama saya memanfaatkan promosi, selain ke pasar hewan, dari terminal Bawen naik angkot menuju Ambarawa. Kuota 1000 per hari harus dibagi penumpang 7 koridor, selama Juli-September. Sebelum bus melaju jauh, saya merenung. Hati saya leleh. Kapan lagi saya melihat kelinci-kelinci sesungguhnya. Waktu melaju tak terulang. Saya telanjur membayar lima ribu rupiah. Saya putuskan melanjutkan perjalanan.

Satu setengah jam kemudian saya sampai di tempat tujuan. Jalanan menurun dari jalan raya menuju pasar hewan. Sisi kanan jalan, lelaki lansia membawa tas khusus dari rajut janur, lalu mengeluarkan isinya.   

“Niki pinten, Pak?” tanya lelaki muda di sebelahnya tentang harga ayam, mungkin jenis ayam aduan. Ternyata lelaki lansia adalah pedagang ayam.

“Tiga ratus ribu rupiah,” jawab pedagang.

 Lalu lelaki muda melebarkan bulu-bulu ayam, bagian ekor dan kedua sayap, sebelum menawar, “Seratus tujuh puluh lima, nggih?”

Pedagang ayam meminta dagangannya kemudian memasukkannya ke tas khusus dan melesat pergi, menuju pasar. Ia tak menghiraukan lelaki muda berjalan di belakangnya dan  menawar hingga Rp275.000,00. Sikap pedagang seakan mengatakan kalau tidak punya uang sebaiknya tidak membeli ayam berkualitas tinggi.  

Akhirnya saya sampai di tempat kelinci-kelinci dijajakan. Pandangan saya tertuju pada lelaki berjaket hitam, yang sibuk memvideo, kelinci-kelinci dalam satu keranjang besi, dengan Hp. Hewan-hewan imut berbalut bulu-bulu putih itu seperti sekelompok artis sedang shooting. Mereka asyik makan dedaunan, sesekali mata mereka melihat Hp.

Kelinci-kelinci lain, berbeda ukuran, juga berada di keranjang-keranjang besi.  Kelinci-kelinci besar menempati kandang-kandang kayu. Lelaki itu terkesan sudah dari tadi berada di tempat tersebut.

“Sepasang berapa, Bu?” tanyanya, selesai memvideo.

“Delapan puluh ribu,” jawab penjual, berkonde cepol. Baju selututnya berisi penuh badannya yang padat. “Kalau mau yang bibit, itu?” tunjuknya pada keranjang di sebelahnya berisi kelinci-kelinci lebih besar. “Mereka cepat berkembang dan menjadi besar,” jelasnya kemudian sambil menunjuk kelinci besar di kandang.

“Yang bibit sepasang berapa?” tanyanya.

“Seratus lima puluh ribu,” jawab pedagang. Wajahnya mulai kusut.

“Seratus ribu boleh?” tawarnya.

“Dari tadi nawar terus,” umpat pedagang lalu pergi. Tidak ada pembeli lain. Ia menambahi dedaunan untuk kelinci-kelinci kecil yang makanannya menipis. Lelaki itu belum beranjak.

Sebelum pedagang itu marah, saya buru-buru pergi. Sebab saya hanya melihat-lihat. Saya masuk ke salah satu deretan warung di pinggir pasar, untuk makan siang.

Kekecewaan saya tidak mendapatkan harga promosi mungkin sama dirasakan pedagang ayam, yang pembelinya tidak mengerti ayam berkualitas tinggi, dan pedagang kelinci, menghadapi calon pembeli rumit, terlepas setiap orang beda visi.

@@@


Tidak ada komentar:

Posting Komentar