Iis Soekandar

Kamis, 08 Mei 2025

Kali Kesek Village

                                                                                              


Saya pernah berdebat seru dengan seorang teman ketika berniat mengajaknya ke Kali Kesek Village. Tempat wisata ini menyajikan terapi ikan, yang tidak saya temukan di tempat-tempat wisata, seputar Semarang.

            Kali Kesek Village dapat ditempuh dengan bus Transsemarang jurusan Cangkiran. Dari terminal Cangkiran belum ada angkutan umum. Saya pernah bertanya kepada sopir angkutan, kala itu mengantar rombongan kami, sejauh mana hingga tidak ada angkutan umum, padahal tempat wisata itu semakin terkenal. Ia menjawab, kira-kira 10 km untuk sampai di tempat tujuan. Di samping itu, jalanan tidak memungkinkan kendaraan-kendaraan roda empat bersimpangan. Mereka pulang lewat jalan lain, menuju Boja.

            Teman saya ngeri melintasi jalan setapak sejauh itu, di kanan kiri pepohongan, berboncengan dengan sopir ojek online. Nyali saya ikut menciut. Entah kapan lagi saya menemukan rombongan yang bertamasya ke sana.

@@@

            Mukena belum saya lepas ketika pintu rumah diketuk. Saya menyelesaikan wirid. Setelah itu, saya beranjak keluar, dengan mukena tergulung sepinggang, tak enak tamu menunggu lama.

            Angin lebih dulu masuk dan mengurangi gerah begitu pintu saya buka.

            “Eh, Mbak….” Saya ajak ia masuk ke ruang tengah dan duduk santai. Tetangga saya itu segera mengutarakan maksudnya. Suara televisi dari Sapa Indonesia Malam saya kecilkan.

            “Pengurus kampung akan mengadakan wisata, di tiga tempat….”

            Saat itu saya seperti menemui malam lailatur qadar ketika ia menyebutkan salah satu tempat wisata adalah Kali Kesek Village. Saya langsung mendaftar.

            Hari-hari serasa jalan melambat. Hingga tiba waktunya, kami berwisata ke pemancingan dan tempat religi. Terakhir, rombongan diajak ke tempat saya impikan. Setelah membayar tiket masuk Rp2.000,00 per orang, dan parkir kendaraan, angkutan masuk di tempat parkir. Dua odong-odong dan kendaraan-kendaraan lain, mayoritas mobil-mobil angkutan, berada di sana.

                                                                               

Seperti namannya, suasana lekat alam pedesaan. Kedai-kedai sederhana dari bambu ramai pembeli. Pemiliknya para warga setempat yang menjajakan soto dan gendar pecel, dan oleh-oleh: kolang-kaling dengan harga jauh lebih murah disbanding di pasar tempat saya biasa berbelanja, tiwul (makanan dari tepung singkong diolah pakai gula merah), dan aneka keripik. Para pengunjung berswafoto, terlebih di spot Kali Kesek Village.

Saya semakin tak sabar saat melihat kali-kali atau sungai-sungai, diceburi kaki orang-orang yang memanfaatkan gigitan ikan-ikan terapi.

            Setelah salat Asar, saya langsung mendatangi kedai langganan. Saya memesan soto batok. Selain menjual soto dan gendar pecel, pemilik kedai juga memfasilitasi pemesanan kolang-kaling dan tiwul. Saya langsung melepas sandal jepit, dan menceburkan kedua kaki. Ikan-ikan terapi langsung menyerbu. Rasa geli merasuki seluruh tubuh saya.  Beramai-ramai saya tertawa bersama pengunjung-pengunjung yang waktu itu juga baru datang.

                                                                                    

          Pesanan datang lama tak terasa karena ulah ikan-ikan yang menggelitik. Saat kaki telah bersih dari kotoran, satu demi satu ikan-ikan pergi. Saatnya saya menyantap soto batok yang segar, hanya dengan membayar Rp8.000,00, perut kenyang.

            Sore semakin larut, langit hitam mungkin tak lama menumpahkan airnya, tak menyurutkan para pengunjung datang. Mugkin mereka juga seperti saya, yang tak sabar ingin menikmati gigitan ikan-ikan terapi.

@@@




 



           

Kamis, 01 Mei 2025

Semangkuk Bakso di Halbi

                                                                                       

        “Lihat bakso malang, Pak?” tanya saya kepada Pak Becak yang mangkal di depan kampung. Sontak pandangannya menyapu sekitar, tak ada gerobak penjual bakso seperti yang saya cari.

            “Nggak lihat, tapi dia jalan lurus kalau gak ada yang beli,” jawabnya sambil menunjuk arah.

            Jawaban sama saya terima dari orang-orang yang saya tanya. Para penjual bakso malang tak mangkal di suatu tempat. Mereka berhenti jika ada pembeli, atau memanggil dengan ketukan bakso yang khas, hanya sesaat. Setelebihnya, mereka jalan. Tak tahan menahan perut bernyanyi dan haus karena sengatan sinar matahari, saya putuskan makan makanan lain.

            Hari berikutnya, saya bertemu penjual bakso malang, tapi saya sedang berpuasa Syawal. Semangkuk bakso malang membayangi, dan saya terus mencari-cari kesempatan setiap keluar rumah.

            Kuah bakso malang bening. Kaldu beraroma bawang itu beradu dengan bakso sapi yang empuk dan gurih, dan renyahnya pangsit goreng. Toping seledri dan bawang goreng menyempurnakan penyajiannya. Setiap suapan mengundang selera.

            Bakso termasuk makanan akulturasi. Menurut buku Main Rasa Bersama Sasa, “bak-so” dalam bahasa Hokkien berarti “daging giling”.  Berawal saat Meng Bo, salah satu penduduk Negeri Tirai Bambu, sekitar abad ke-17, ingin menyajikan daging untuk ibunya. Seiring bertambahnya usia, ibu Meng Bo tidak dapat mengunyah daging. Dalam pencariannya, Meng Bo terinspirasi kue moci yang bulat dan kenyal. Kemudian ia menghaluskan daging dan membentuk bulat seperti kue moci. Sejak itu ibunya dapat menikmati daging.

            Kedatangan orang-orang Negeri Tirai Bambu, zaman dulu, tidak hanya berdagang. Mereka juga mewarnai budaya dan makanan masyarakat Indonesia, termasuk bakso. Sesuai mayoritas masyarakat Indonesia yang muslim, daging bakso tebuat dari daging sapi, bukan dari daging babi.

            Budaya Halbi (halal bi halal) juga dilestarikan oleh masyarakat Indonesia. Tujuan Halbi selain silaturahim adalah bermaaf-maafan. Begitupun yang ada di benak saya ketika menghadiri acara Halbi sebuah komunitas. Selebihnya, saya hanya membayangkan bakso secara umum, walau jauh hari, panitia mengumumkan bahwa makanan utama Halbi adalah bakso.

            Dan, kerinduan saya terbayar ketika di hadapan saya, terhidang bakso berkuang bening, mirip bakso malang. Di tengah maraknya efisiensi, saya menikmati bakso malang di Halbi, sebuah langkah bijaksana.

@@@


Kamis, 27 Maret 2025

Tak Memburu Waktu

                                                                                  

Posko penuh orang-orang. Posko keamanan di sebelah kiri dekat pintu gerbang masjid itu terbangun dari tenda terbuka. Saya mudah melihat kegiatannya dari jauh. Satu per satu orang keluar sambil membawa minyak goreng kemasan plastik dengan wajah berseri. Kemudian datang yang lain dan mengantre, begitu seterusnya. Sebagian dari mereka jemaah pengajian; Sebagian lagi orang-orang luar.

            “Tadi sebelum pengajian, ada pengumuman, tapi aku nggak ngeh,” jawab teman yang duduk di sebelah saya ketika saya tanya kegiatan di posko.

            “Jenengan tidak ke sana?” tanya saya sekaligus mencari teman.

            “Nanti saja setelah Asar,” jawabnya kukuh, sambil manggut-manggut mendengarkan keterangan Pak Ustaz.

            Hati saya bergejolak. Apakah barangnya masih ada jika kami menunggu Asar? Pasti harga minyak goreng itu murah. Mungkin otoritas setempat atau pihak tertentu memberi kompensasi kepada masyarakat, yang dirugikan salah satu produsen minyak goreng, yang mengurangi takaran.   

            Seorang wanita bertubuh tinggi dan tegar datang, lalu bersalaman kepada orang-orang di dekatnya. Ia tiba di masjid pada separuh waktu pengajian. Orang-orang membagikan takjil jelang buka puasa. Ia membagikan takjil siang hari, terlepas yang diberi jemaah pengajian. Saya pernah diberinya kurma 5 buah dalam bungkus mika.

            Saya datangi posko, di tengah terik matahari, pada keterangan Pak Ustaz berikutnya. Cerita Nabi Yusuf dibuang saudaranya, dan kisah-kisah menarik setelah itu, terdengar jelas melalui pelantang suara.

            Seperti mendapat hadiah lebaran ketika saya mendapatkan satu liter minyak goreng secara gratis. Saya hanya diminta mengisi kuesioner, seputar penggunaan uang digital. Teman saya sedih, selesai Asar, posko sepi, tidak ada lagi kegiatan pemberian minyak goreng gratis.

            Insya Allah, dua atau tiga hari lagi Lebaran tiba. Izinkah saya mengucapkan Hari Raya Idulfitri, kepada teman-teman yang merayakannya, dan, maaf lahir batin.

@@@


Kamis, 20 Maret 2025

Apa Ini?

                                                                                                

            Pak Ustaz menerjemahkan dan memberi keterangan-keterangan ayat-ayat suci yang dilantunkan. Keterangan-keterangan itu, selalu dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari. Ia akan kembali membacakan ayat-atat suci lalu menerjemahkan dan memberi keterangan-keterangan, demikian seterusnya hingga waktu jelang Asar. Dan menurut jadwal pengurus, pengajian dan khataman akan dilakukan tanggal 25 Ramadan.

            Langit mendung. Angin bertiup sejuk. Suara kendaraan-kendaraan terdengar ramai, dari para pembeli yang memenuhi kebutuhan Lebaran. Mereka berbelanja di pertokoan seberang jalan sisi kanan masjid.

Sebagian jemaah mendengarkan. Sebagian lain mencatat. Sebagian lagi mengantuk. Pandangan saya menyapu jemaah yang duduk di tengah, dan di pojok-pojok serambi masjid. Saya tak menemui pedagang keripik. Saya suka keripik tumpi(keripik kacang hijau). Mungkinkah pedagangnya tidak berjualan? Atau ia duduk di masjid bagian dalam? Saya duduk di undakan. Gerak saya leluasa.

Pedagang keripik menjual dagangannya sambil lalu. Ia duduk santai di tempat-tempat strategis. Ia menawarkan dagangannya di dalam tas anyaman, kepada orang-orang yang lalu lalang di depannya.   

Berbeda dengan pedagang-pedagang makanan lain, mereka menemui para calon pembelinya satu per satu. Ada pedagang tetap menawari walaupun saya tidak pernah membeli karena tak suka dagangannya.

Ada juga pedagang datang di tengah pengajian berlangsung. Ia duduk sebentar, sambil mencari-cari orang-orang yang pernah membeli dagangannya. Setelah menemukannya, ia tak segan nimbrung dan duduk di sebelah orang tersebut.

Saya harus menunda makan keripik jika tak menemukan pedagangnya. Karena kesibukan malam, saya tak punya waktu menikmati keripik. Saya tadarus bersama teman-teman setelah tarawih. Dan tadarus 30 juz selesai pertengahan Ramadan. Saya berjanji akan membeli keripik setelah tadarus selesai.

            Kami menutup Al-Qur’an. Pak Ustaz baru saja mengakhiri pengajian dengan doa. Tak lama kemudian…

            Pluk!

            “Apa ini?” tanya saya kaget.

            Saya belum sempat mengucapkan terima kasih kepada teman yang menjatuhkan tas kresek di pangkuan saya. Ia gegas pergi, tak mau tersalip mendung menjatuhkan airnya. Dan, sebahagia mendapatkan baju Lebaran, saat saya mengetahui isinya: sebungkus keripik tumpi.

            Suara azan terdengar; saya segera memenuhi panggilannya.

@@@


Kamis, 13 Maret 2025

Langit Terang di Ujung Sana

                                                                                         

Setelah setengah hari beraktivitas, sambil menahan lapar dan dahaga, tidur siang adalah langkah tepat. Tapi pengajian dimulai sekitar pukul satu siang. Pergi tidur dan pergi mengaji, berkelindan di benak saya.

Jika pertentangan dua hal itu merasuki pikiran, saya segera melintaskan dua pedagang yang biasa hadir dalam pengajian itu. Dan saya pun bergegas pergi mengaji.

Berbeda dari pedagang-pedagang lain yang menjual makanan, pedagang balon rajin menyambangi tempat pengajian. Ia menawarkan dagangannya kepada jemaah yang mengajak anak-anak kecil. Ia terkadang datang dua kali dalam durasi pengajian hampir dua jam. Padahal, jemaah yang hadir dan anak-anak kecil yang diajak tak berbeda. Sewajarnya, orang membeli mainan yang sama satu kali. Tapi ia lalu lalang, ke jemaah wanita, lalu ke jemaah lelaki.

                                                                                         

Satu lagi wanita lansia pedagang asongan yang menjual bermacam-macam jepit rambut, karet rambut, cotton bud, serabut pencuci piring, tutup termos, dll. Ketika jalan tanpa beban, saya yakin kakinya terseok-seok. Apalagi ia harus menarik gerobak minimalisnya. Gerobak beroda dua itu disangganya dengan kotak bekas wadah es krim agar berdiri ketika ia duduk bergabung dengan jemaah. Ia beristirahat sambil mendengarkan bacaan Al-Qur’an diselingi ceramah dari Pak Ustaz. Sesekali kantuk menyetainya.

Tak seperti para pedagang makanan yang laris manis, saya pernah duduk di sampingnya hingga pengajian selesai, tak satu pun pembeli membeli dagangannya.

“Setiap hari pasti ada yang beli, ya, Bu?” tanya saya berempati, bagaimana dia makan dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan lain.

“Yah, disyukuri saja,” jawabnya senyum-senyum, tak mau menjelaskan detail. Kami berbincang selesai salat Asar. Sesekali kami menyalami jemaah, yang menuruni undakan masjid, untuk pulang. 

Lalu dia bercerita tentang anak-anaknya yang tak pernah menyantuni. Ia tinggal di sebuah rumah yang tidak lagi ditempati pemiliknya. Sebetulnya ia juga menjual beberapa mainan anak-anak. Tapi modalnya tak kembali karena uangnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Saya manggut-manggut dan mendoakan dalam hati agar ia diberi rezeki sehingga dagangannya tetap ada. Ketika saya bertanya apakah ia juga berbuka puasa di masjid ini, saya tersadar mendengar jawarabannya. Ia berbuka di masjid lingkungan tempat tinggalnya. Ia tidak berani pulang malam. Ia butuh waktu lama berjalan dari masjid ke rumahnya, sambil menarik gerobak minimalisnya.

Satu orang bersandar di pilar serambi masjid dengan mata terpejam. Dua lainnya tergeletak di lantai. Aroma sedap makanan dari penjaja makanan di alun-alun melintas. Daun-daun kemboja bergerak-gerak saat angin bertiup. Kami berpisah. Pedagang asongan menarik gerobaknya; jalannya satu langkah satu langkah. Di antara perjalanan pulang, saya melihat langit terang di ujung sana.

@@@


Kamis, 06 Maret 2025

Impas

            Puasa Ramadan identik cuaca panas. Dahaga adalah salah ujian yang harus dilalui setiap Muslim, begitu terasa. Namun, Ramadan tahun ini bertepatan bulan Maret, yang menurut penanggalan, hujan rajin menyambangi.

            Pengajian selesai. Kami menuntaskan dengan salat Asar di masjid. Saya bersama jemaah berburu takjil. Saya mencari ketan biru, makanan khas Semarang, terbuat dari beras ketan berwarna biru, di atasnya diberi enten-enten. Saya berkeliling alun-alun dan sekitarnya, membaca satu per satu tulisan makanan di depan kedai-kedai. Pedagang ketan biru biasanya juga menjual lontong opor.

            “Wah, di mana ya. Saya nggak lihat tuh, penjual ketan biru,” jawab penjual aneka jus buah yang saya tanya. Saya tinggalkan wanita itu bersama suara berisik alat jus yang sedang melumat jambu biji merah.

            Tak lama air dari langit turun rinai. Saya gegas pulang. Tidak bijaksana jika saya terus memburunya di tempat-tempat lain.  Saya harus menjaga kesehatan. Demi mengurangi rasa kecewa, saya lewati sore-sore bersama buku bacaan.

            Saya pikir buku ini hanya membahas kuliner Semarang. Istilah Semarangan mengacu kuliner Semarang dan daerah-daerah pantai utara Jawa Tengah: Batang, Demak, Kudus, Jepara, Pati, Lasem, Grobogan, dan Purwodadi. 

            Kuliner akulturasi masyarakat Tionghoa, Islam, Hindu, merupakan bagian dari makanan keseharian masyarakat Semarangan. Bangsa-bangsa asing itu datang di Indonesia untuk berdagang.

            Di Semarang, lumpia, bakso, lontong cap go meh, bolang baling adalah contoh akulturasi masyarakat Tionghoa, juga swike khas Purwodadi. Begitu pun bacang: makanan berbahan beras ketan yang diberi isian daging, dan dibungkus daun bambu, sangat mudah ditemui di Lasem pada hari-hari biasa. Sedangkan kuliner Jepara mendapat pengaruh dari Tionghoa, Arab, dan Belanda. Jepara dikenal sebagai kota pelabuhan yang sering disinggahi kapal-kapal asing.

            Kuliner Demak dan Kudus dipengaruhi agama Hindu. Masyarakatnya tidak makan daging sapi, melainkan daging kerbau.

            Selain pengaruh negara-negara asing, kuliner Semarangan juga dipengaruhi kondisi alam. Potensi Semarangan adalah padi, ubi, jagung, kedelai, kacang tanah, dan kacang hijau.

            Getuk runting adalah kudapan khas Pati, terbuat dari ubi kayu, di atasnya ditaburi serudeng. Sedangkan olahan jagung, seperti nasi jagung dan jagung goreng, banyak dijumpai di Grobongan.

            Beberapa daerah Semarangan mempunyai gunung dan pengunungan sehingga potensi produksi buah dan sayur mencukupi.

            Buku ini juga dilengkapi resep kuliner Semarangan dan gambar-gambar makanan dan minuman yang menarik.

            Mendapatkan pengetahuan kuliner Semarangan, impas bagi saya, sebagai kompensasi tak menemui ketan biru.

@@@

 

Kamis, 27 Februari 2025

Tertambat Niat

       Ada keraguan ketika saya akan membeli makanan-makanan kesukaan pada tradisi dugderan. Pedagang-pedagangnya berasal dari luar kota. Harga barang-barang naik, kelangkaaan gas melon, apakah mereka berjualan pada momen tahunan itu? 

                                                     

       Dugderan adalah tradisi masyarakat Semarang menyambut puasa Ramadan. Dugderan diadakan selama dua minggu sebelumnya. Para pedagang makanan daerah dan makanan kekinian, para pedagang mainan seperti aneka celengan dari gerabah, menjajakan dagangannya sekitar alun-alun, depan Masjid Agung Semarang. Ada juga wahana permainan kora-kora, tong setan, ombak banyu, dll. 

                                                      

               Senja berganti malam. Di depan masjid, tidak ada satu pun penjual makanan. Tempat itu beralih fungsi mejadi tempat parkir kendaraan. Biasanya pedagang tahu aci menjual dagagannya di sana.

            Saya masuk arena dugderan, menyusuri jalanan depan alun-alun, menembus jubelan pengunjung. Aroma sedap bakaran seafood melintas hidung. Suara keriangan pengunjung, otok-otok dari mainan kapal-kapalan, dan musik dari lapak-lapak makanan, beradu. 

                                                   

           Sebungah musik dari lagu energik ketika saya melihat angkringan bertuliskan makanan kesukaan. Di belakangnya, seorang lelaki sibuk memasukkan aneka bahan-bahan makanan dalam wajan kecil. Ia duduk di dingklik. Saya membeli seporsi. Tidak ada pembeli lain; berporsi-porsi kerak telur dalam bungkus-bungkus kertas coklat, menggunung. Tak lama makanan matang.

            “Berapa, Pak?”

            “Dua puluh lima ribu saja.”

            Lalu ia memberi kembalian Rp25.000,00 sambil mengeluarkan unek-unek, bahwa, harga bahan-bahan makanan naik, banyak pesaing, untung sedikit yang penting laku, demi dugderan. 

            Saya melanjutkan langkah, menembus barisan pengunjung yang semakin lama semakin padat. Di ujung, tak ada penjual makanan, kecuali aneka wahana permainan. Mungin saya terlewat. Saya pulang, akan melanjutkan petualangan, esok hari.

@@@

            Waktu berpacu dengan hujan. Dua hari berikutnya saya berkesempatan mengunjungi dugderan. Sore muram; guntur menggema. Saya teringat, tempo hari belum masuk ke alun-alun. Jalanan lengang. Saya menoleh ke kanan ke kiri melihat para pedagang menyiapkan dagangan-dagangannya. Saya berdiri mematung di depan  sebuah kedai makanan. Mata saya kedip-kedipkan. Saya tidak salah. 

                                                         

               “Kirain nggak ada pedagang tahu aci,” ungkap saya setengah berteriak sambil senyum-senyum begitu mendekat ke panjualnya.

            “Ada kok,” jawab pedagangnya, seorang laki-laki, juga senang. Ia dan istrinya bergegas menyiapkan dagangannya untuk dijajakan. Istrinya membagi dua setiap tahu di meja racik, lalu memberinya aci di bagian tengahnya: adonan berbahan tepung kanji yang diberi bumbu. Tahu-tahu itu dikirm dari Tegal oleh bosnya. Begitu pun acinya diberi bumbu khas oleh bosnya.

            Seporsi tahu aci seharga Rp20.000,00 telah dibungkus. Saya bersiap menyantapnya di rumah.

@@@