Kamis, 25 September 2025

Tamasya ke Puncak Gunung Telomoyo

                                                                                                

pintu gerbang ke puncak Telomoyo

               Bagi orang tinggal sehari-hari di kota, seperti saya, melihat sunset atau matahari terbenam di puncak gunung pastilah punya keasyikan tersendiri. Bayangan seorang pendaki dengan segala perlengkapannya, berjalan di jalan terjal, bebatuan, untuk mencapai puncak gunung, terlintas di benak saya. Saya dan rombongan akan pergi melihat sunset di Puncak Gunung Telomoyo.

            Kami berangkat pukul setengah dua belas siang, berniat salat Duhur dan Asar di perjalanan, sambil menikmati tempat-tempat persinggahan.

            Udara sejuk dengan matahari samar-samar menyambut kedatangan kami di Dusun Dalangan, Desa Pandean, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang, tepatnya di area Gunung Telomoyo. Waktu menunjuk pukul empat sore. Sisi kanan area parkir kendaraan-kendaraan pribadi. Sisi kiri terparkir jip-jip aneka warna. Tak seperti dugaan saya, naik ke puncak gunung dengan menaiki jalan terjal, jip-jip itu siap mengantarkan wisatawan menuju ke sana. Tarip tersedia, dari Rp400.000,00 hingga Rp1.000.000,00, tergantung jumlah tempat wisata yang dikunjungi. Dengan membayar Rp15.000,00 per orang, sebagai biaya masuk tempat wisata, kami berlima, ditambah sopir, mengendarai jip menuju Puncak Gunung Telomoyo.

                                                                                       

persewaan jip-jip siap mengantar para wisatawan

             Samar-samar hujan rintik turun ketika jip baru saja melewati gardu tiket pembayaran. Tapi terpal sebagai atap jip membuat saya tenang, jika tiba-tiba hujan turun deras. Syukurlah, beberapa menit berikutnya, tak setetes pun air turun dari langit. 

                                                                                    

Gunung Andong terlihat dari tempat parkir

              Bunga-bunga bermekaran berwarna pink; sebagian lagi bunga-bunga berwarna kuning dari tanaman lain. Warna-warna itu sangat kontras dengan hijau daun-daunnya. Pemandangan berikut pohon-ponon pinus menjulang tinggi di kanan kiri jalan. Suasana menyenangkan, kecuali suara berisik klakson setiap beberapa menit, seiring mobil akan membelok. Tujuannya agar tidak bertabrakan saat berpapasan dengan mobil lawan arah.

            Mobil terus menaiki jalan, dan semakin ke atas. Kok tidak ada adelweis? tanya saya. Edelweis identik dengan puncak gunung. Puncak Gunung Telomoyo kurang tinggi, jadi tidak ada edelweis, jawab sopir. Saya manggut-manggut.

            Setengah jam berikutnya kami tiba di Puncak Gunung Telomoyo. Begitu turun dari mobil, pernyataan sopir membuat kami tercengang.

            “Kita tidak bisa lihat sunset. Kabut keburu datang.”

            Ada perasaan kecewa tidak tersampaikan tujuan. Gunung Sindoro, Gunung Merbabu, Gunung Sumbing, juga tertutup kabut. Hanya Gunung Andong sempat saya foto karena letaknya di bawah dekat parkir kendaraan. Tapi berada di puncak gunung bersama wisatawan-wisatatan lain, cukup menghibur kami. Kapan lagi berada di puncak gunung kalau tidak di Puncak Gunung Telomoyo, dengan segala kemudahannya. Banyak jip-jip mengantarkan rombongan terparkir di pinggir-piggir jalan. Begitu pun sepeda motor bagi yang bepergian berdua. Para pedagang mi instan dan minuman-minuman saset sibuk melayani para wisatawan.

Akhirnya kami memutuskan turun, mencari kafe. 

                                                                          

salah satu spot foto di kafe

         Kami memilih kafe representatif, selain tempat beristirahat, juga terdapat spot-spot foto menawan. Biaya masuk sepuluh ribu per orang. Terasa ngeri ketika saya berada di tempat berlantai kaca, saya bayangkan jika lantai itu retak lalu pecah, kemudian saya terjatuh di jurang. Maksimal delapan orang berada di tempat itu.

            Berada di tempat dingin, makanan tepat dan mudah adalah mi instan. Sayang kami harus mengantre panjang. Kami putuskan turun, setelah puas berfoto. Mungkin malam hari kami baru sampai di basecamp jika tetap ingin menyantap mi rebus. Kembali pertanyaan saya ajukan ketika jip berpapasan dengan mobil pribadi, dalam perjalanan pulang. Saya protes, awalnya kami akan naik mobil sendiri ke Puncak Gunung Telomoyo. Tapi petugas melarang dan harus sewa jip. Itu pemilik kafe. Biasanya mengantar karyawan, pergantian sip, jawabnya.

            Apa pun kendaraannya, melihat pemandangan melalui Puncak Gunung Telomoyo adalah pengalaman tak terlupakan. Hingga tak terasa kami sampai di basecamp.

@@@




Kamis, 18 September 2025

Cinta: Sebuah Cara Meraih Keinginan

                                                                                        

          Book Fair 2025 sepi pengunjung ketika saya tiba di halaman Perpustakaan Provinsi  Jawa Tengah. Beberapa petugas, lelaki-perempuan, sibuk menata buku-buku, menghitung dengan kalkutalor dari buku catatan, memindahkan buku-buku ke tempat semestinya, dll. Aroma masakan tercium dari pedagang di sisi kiri arena. Sesekali angin dingin melintas walau matahari sejak pagi tadi bertengger di atas sana.

Saya sengaja datang awal, agar leluasa mencari buku yang saya inginkan. Langsung saya datangi buku-buku novel. Dari barisan buku-buku itu, tidak satu pun saya temui yang saya mau. Kesabaran saya hilang dan nyaris pulang, sebelum saya melihat buku berwarna suram, pada barisan terakhir. Hati saya langsung berujar, sebelum buku itu saya ambil, lalu pulang, untuk segera membacanya: “Akhirnya, kutemukan pengarang idola: Gabriel Garcia Marquez.”

Dari kovernya (gambar dan judul), saya menebak isinya banyak berisi adegan cabul. Namun, mengacu nama besar pengarangnya, sebagaimana ditulis lebih besar dari judul buku, cerita ranjang tidak akan ditulis laiknya ‘barang ecek-ecek’.

Cerita dibuka dengan keinginan lelaki, mantan jurnalis, yang masih dipercaya mengisi kolom seminggu sekali, menghadiahi dirinya, tepat pada hari ulang tahunnya ke-90, dengan menghabiskan malam percintaan liar bersama remaja perawan. Ia menelepon kenalannya, wanita pemilik rumah bordil. Lalu kenalannya itu memberinya gadis miskin dari piggiran, usia 14 tahun.

Dari bab kedua (lelaki itu mulai bertemu sang gadis) hingga bab akhir, dugaan saya meleset. Tak satu pun terjadi adegan ranjang, walaupun keduanya berada dalam satu kamar. Kenalannya itu memberi obat penenang karena gadis itu baru saja mengalami kejadian buruk, yang ini bisa mengganggu hubungannya dengan lelaki itu. Nahas, obat itu kelebihan dosis. Ia tidur terlelap hingga keesokan hari, saatnya sang mantan jurnalis menyiapkan karyanya. Begitulah malam-malam sama, namun demikian cukup membuat lelaki itu menemukan cintanya. Ia menulis dengan penuh cinta. Karyanya terasa berbeda dari biasanya. Hingga pengunduran dirinya berhenti menulis kolom ditolak, sebab ia masih bisa menyajikan karya bagus.

Kalimat-kalimatnya ditulis panjang-panjang. Namun saya tidak terengah-engah, karena setiap frasa ringkas sehingga mudah dipahami. Dari novel sebanyak seratus empat puluh tujuh halaman, hanya beberapa kalimat dialog ditulis secara konvensional: diapit dengan tanda petik. Selebihnya kalimat-kalimat dialog ditulis secara narasi. Saya tidak bingung, sebaliknya, justru terkesan, itulah keunikan karya ini.

Terlepas cerita seorang lelaki 90 tahun ingin menghabiskan malam percintaan liar bersama remaja perawan, pada hari ulang tahunnya, lebih jauh cerita ini berkesan bahwa dengan cinta, keinginan apapun bisa diraih, entah cita-cita, harapan, pekerjaan, dll. Cinta memberi kekuatan magis yang mampu menggerakkan sesuatu sulit tanpa diduga.

Sebagai rangkuman, sekaligus motivasi, jelang halaman terakhir, ditulis: Kehidupan bukanlah sesuatu yang berlalu begitu saja bagaikan sungai Heraclius yang selalu berubah, melainkan adalah sebuah kesempatan unik untuk membalikkan panggangan dan menjaga panas di sisi lain, selama manusia hidup.  

@@@


Kamis, 11 September 2025

Beda Visi

                                                                                       

Waktu belum menunjuk pukul setengah delapan pagi ketika saya sampai di halte. Beberapa menit kemudian bus Transjateng jurusan akhir terminal Bawen datang. Hanya ada dua penumpang wanita duduk di belakang. Mereka sedang berbincang masalah pekerjaan. Hawa dingin menusuk kulit. Kota Semarang adalah tempat awal pemberangkatan.  

Hari ini spesial. Saya akan memanfaatkan promosi, dalam rangka memperingati hari jadi Provinsi Jawa Tengah ke-80. Bayarnya seribu kan, saya pakai Kris, pinta saya kepada petugas sambil menyodorkan Hp, bermaksud memindai, sebagai persyaratan. Wah, promonya sudah habis, sejak jam setengah tujuh tadi, jawab petugas. Kalau bayar normal mending pakai uang tunai, gerutu saya lalu memberi selembar lima ribu rupiah.

Kekesalan hati terkadang mengacaukan semua urusan. Tujuan utama saya memanfaatkan promosi, selain ke pasar hewan, dari terminal Bawen naik angkot menuju Ambarawa. Kuota 1000 per hari harus dibagi penumpang 7 koridor, selama Juli-September. Sebelum bus melaju jauh, saya merenung. Hati saya leleh. Kapan lagi saya melihat kelinci-kelinci sesungguhnya. Waktu melaju tak terulang. Saya telanjur membayar lima ribu rupiah. Saya putuskan melanjutkan perjalanan.

Satu setengah jam kemudian saya sampai di tempat tujuan. Jalanan menurun dari jalan raya menuju pasar hewan. Sisi kanan jalan, lelaki lansia membawa tas khusus dari rajut janur, lalu mengeluarkan isinya.   

“Niki pinten, Pak?” tanya lelaki muda di sebelahnya tentang harga ayam, mungkin jenis ayam aduan. Ternyata lelaki lansia adalah pedagang ayam.

“Tiga ratus ribu rupiah,” jawab pedagang.

 Lalu lelaki muda melebarkan bulu-bulu ayam, bagian ekor dan kedua sayap, sebelum menawar, “Seratus tujuh puluh lima, nggih?”

Pedagang ayam meminta dagangannya kemudian memasukkannya ke tas khusus dan melesat pergi, menuju pasar. Ia tak menghiraukan lelaki muda berjalan di belakangnya dan  menawar hingga Rp275.000,00. Sikap pedagang seakan mengatakan kalau tidak punya uang sebaiknya tidak membeli ayam berkualitas tinggi.  

Akhirnya saya sampai di tempat kelinci-kelinci dijajakan. Pandangan saya tertuju pada lelaki berjaket hitam, yang sibuk memvideo, kelinci-kelinci dalam satu keranjang besi, dengan Hp. Hewan-hewan imut berbalut bulu-bulu putih itu seperti sekelompok artis sedang shooting. Mereka asyik makan dedaunan, sesekali mata mereka melihat Hp.

Kelinci-kelinci lain, berbeda ukuran, juga berada di keranjang-keranjang besi.  Kelinci-kelinci besar menempati kandang-kandang kayu. Lelaki itu terkesan sudah dari tadi berada di tempat tersebut.

“Sepasang berapa, Bu?” tanyanya, selesai memvideo.

“Delapan puluh ribu,” jawab penjual, berkonde cepol. Baju selututnya berisi penuh badannya yang padat. “Kalau mau yang bibit, itu?” tunjuknya pada keranjang di sebelahnya berisi kelinci-kelinci lebih besar. “Mereka cepat berkembang dan menjadi besar,” jelasnya kemudian sambil menunjuk kelinci besar di kandang.

“Yang bibit sepasang berapa?” tanyanya.

“Seratus lima puluh ribu,” jawab pedagang. Wajahnya mulai kusut.

“Seratus ribu boleh?” tawarnya.

“Dari tadi nawar terus,” umpat pedagang lalu pergi. Tidak ada pembeli lain. Ia menambahi dedaunan untuk kelinci-kelinci kecil yang makanannya menipis. Lelaki itu belum beranjak.

Sebelum pedagang itu marah, saya buru-buru pergi. Sebab saya hanya melihat-lihat. Saya masuk ke salah satu deretan warung di pinggir pasar, untuk makan siang.

Kekecewaan saya tidak mendapatkan harga promosi mungkin sama dirasakan pedagang ayam, yang pembelinya tidak mengerti ayam berkualitas tinggi, dan pedagang kelinci, menghadapi calon pembeli rumit, terlepas setiap orang beda visi.

@@@